KATA PEMBUKA
BAGIAN I: SKETSA CINTA
Rumahku Surgaku ¨ Lambaian Keakraban ¨ Gaung Mengguruh ¨ Sastrayoga ¨ Hijau Merimbun Hingga Jauh ¨ Titik Horizon ¨ Ada untuk Mengabadi ¨ Binatang dalam Sangkar ¨ Kepakkan Sayapmu dan Terbanglah ¨ Suwung Penggalih ¨ Lukisan Kata ¨ Hening Bersua ¨
BAGIAN II: SUMARAH CINTA
Aku yang Jauh ¨ Natur yang Teringkari ¨ Sembunyi ¨ Tanya Pagi Ini ¨ Sajadah Airmata ¨ Dalam Kubangan ¨ Unggun Cinta ¨ Jalan Peziarah ¨ Rintihan Sekeping Batu ¨ Melukis Masa Depan ¨ Di Sini Aku Menyambutmu ¨ Takdir Sunyi ¨ Sumpah Teguh ¨
BAGIAN III: TITIK AKHIR PERJALANAN
Tak Ada Lagi Puisi ¨ Saatnya Menertawai ¨ Energi Asa ¨ Ombak dan Cinta ¨ Monolog Rindu ¨ Guruh dan Serigala Berhati Batu ¨ Thawaf Cinta ¨ Wajah Cinta ¨ Rembulan Bertakziah ¨ Kembali ke Gua Kahfi ¨ Menggeser Pintu Batu ¨ Renjana Peziarah ¨
Bismillahirrahmanirrahim
saat senja hadir menyapa
saat kekasih tak lagi menemani tuk bersua
maka kemana engkau akan melangkah, duhai peziarah?
apakah harus takluk di bawah kuasa renjana
atau berpasrah pada kehendak Sang Maha Cinta?
Tuhan, aku bermohon pada-Mu husnul khatimah
Nyong ETIS
RUMAHKU SURGAKU
baity jannaty, rumahku adalah surgaku
demikianlah kalimat itu akrab terekam di benakku sejak dulu
seperti halnya al-jannah tahta aqdamil-ummahat
bahwa surga berada di bawah telapak kaki para ibu
dan aku mengaminkan kebenaran kata-kata itu
maka, wahai engkau yang mendamba surga, lihatlah!
ternyata surga selalu ada di depan mata
'Halaman Surga', Sidoarjo, Jawa Timur
LAMBAIAN KEAKRABAN
di tubir karang aku memandang
riak wajahmu yang berombak tak jua tenang
apakah ini cermin yang ada di kedalaman
atau hanya lambaian pada angin tanda keakraban?
Pantai Laut Selatan, Yogyakarta
GAUNG MENGGURUH
aku menjengukmu
untuk menyapa masa lalu
mengamini gaung tak kasat mata yang mengguruh
oh Sang Waktu
luruhkanlah keangkuhanku!
Gua Selarong, Bantul, Yogyakarta
SASTRAYOGA
inikah altar suci para bangsawan
tempat di mana sesaji terbaik dilarungkan?
kepada jelata, lihatlah!
di luar pagar ada kuburan sunyi dekat comberan
tempat aman untuk menyetubuhi kalangwan
Taman Budaya, Yogyakarta
HIJAU MERIMBUN HINGGA JAUH
pucuk-pucuk daun teh merimbun hijau hingga jauh
membawa ingatan melayang pergi ke waktu yang lampau
saat tiba di tempat asalnya, ada dua jiwa terlihat di sana
melangkah perlahan beriringan, aih! seulas senyuman
tanpa dipinta tiba-tiba saja rekah
hanya ada kata-kata sederhana terdengar mengisi sunyi suasana
meski dalam lubuk hati terdalam, ada gelegak yang takkan kuasa dicegah riuhnya
ya, tinggal menghitung hari, hidup mereka sama sekali akan berubah
dan hari ini, di sini
hamparan hijau itu masih saja merimbun hingga jauh
seperti halnya dua jiwa yang melangkah perlahan beriringan
meski tak seperti dulu, tiada lagi kekosongan yang menjadi jarak pengantara
kini ada senyum dan tawa seorang anak laki-laki, merengkuh dua jiwa
mentautkan jari-jemari mereka sebagai ibu dan bapaknya
Kebun Teh Wonosari, Lawang, Jatim
TITIK HORIZON
ruap aroma garam menemani sepanjang perjalanan
bersama desau angin pantai yang menari ikuti lekukan sempadan
sementara gelombang bergulung-gulung naik turun
tak ada henti, entah sampai kapan
mungkin hanya di titik horizon, ia akan bisa menjadi tenang
di mana sang langit menjamah lembut bibir lautan
Pantai Camplong, Sampang, Madura
ADA UNTUK MENGABADI
tidak ada yang diam, semuanya mengalir
tidak ada yang tetap, semuanya berubah
demikian Heraclitus pernah mendakwah
seperti aliran air yang engkau mandi di dalamnya
atau hembusan udara yang engkau berkubang di pusarannya
tersadari atau tidak, mengalir senantiasa
bahkan Parmenides pun mengakuinya
meski ia lebih memilih percaya, bukan sebagai fragmenta,
arche tak pernah berubah
sudahlah, tersadari atau tidak, semua yang ada memang menjadi
dan sekali mengada ia akan mengabadi
tiada yang berubah, semua mengalir pasti
Pemandian Air Panas Ubalan, Pacet
Mojokerto, Jawa Timur
BINATANG DALAM SANGKAR
lemparkanlah tatapanmu!
ke depan
ke samping kanan
ke samping kiri
lalu tengoklah ke belakang
juga ke bawah
atau ke atas
memang apa yang membedakan kita dengan mereka?
Taman Safari, Pandaan, Pasuruan
KEPAKKAN SAYAPMU DAN TERBANGLAH
seperti burung elang
kita juga punya sayap untuk terbang
mengepak di awang-awang
menjenguk dunia asing dan ragam kemustahilan
seperti burung elang
kepakkan sayapmu dan terbanglah!
Ketep Pass, Magelang, Jateng
SUWUNG PENGGALIH
pada alam aku bercermin
pada tubuh aku bicara
Tuhan, inilah aku
telanjang di hadapan-Mu
Candi Cetho dan Candi Sukuh,
Karanganyar, Jawa Tengah
LUKISAN KATA
untuk apa kita melata di alam fana ini
jika bukan untuk melukiskan kata-kata
seraya bermimpi bahwa ia kan mengabadi?
Kampung Batik Laweyan,
Solo, Jawa Tengah
HENING BERSUA
hening menyapa
cermin bertanya
ya, kita bersua
Gereja Ganjuran,
Vihara Mendut,
Candi Borobudur,
Candi Prambanan
AKU YANG JAUH
aku menyaksikanmu dalam pejamku
tersenyum sebagaimana kupernah mengenalnya, dahulu
ya, seperti dahulu, jauh
tetap tak tersentuh
haruskah aku mengeluh?
empat puluh sudah usiaku
dan ternyata masih banyak juga yang kumau
aih, Kekasihku, betapa malunya aku di hadapan-Mu
masih saja telanjang penuh nafsu
duh!
meski sudah kuendapkan kisah-kisah itu
di kedalaman pusara masa lalu
biar bisa kujejak hari ini dan esok tanpa sedu
betapa di pelukan-nafsu ilmu seolah membatu
menjadi tangisan keinsyafan seorang pecundang yang rapuh
berpeluh menikmati tubuh
menepikan kesucian di balik kelambu
uh!
buta mata itu melihat garis batas surga menjauh
dan sukma kelu saat bibir perempuan itu melenguh
Asaku, tidak muda lagi aku
mengapa tak jua jiwa ini Engkau rengkuh?
penuh
penuh
utuh
utuh
satu
di altar-Mu
dengan segala keterbatasan insaniyahku
aku bersimpuh
: oh duhai Rinduku
rengkuh sisa hidupku ini dalam pelukan cinta-Mu
dekap dan jangan pernah lepaskan sisa hidupku ini dalam kehangatan ridha-Mu
aku yang jauh
jiwa yang penuh
jiwa yang utuh
jiwa yang satu
masih kudamba dalam runduk penuh malu
: ampunilah aku
Sidoarjo, 25/09/3017
NATUR YANG TERINGKARI
: duhai Rahasia Terindahku
tak perlu terucap
mengapa kata-kata ini kembali mengepak sayap
dalam katup bibirku yang senyap
Engkau tahu aku terus saja berharap
bahwa birahi ini akan benar-benar mengendap
hingga cukuplah dengan satu kudekap
meski hari-hari seringkali menyapa bersama lelap
sementara ingatan yang jaga tak bosan bosannya erat membekap
sesak serasa nafas ini mengekang kelelakian yang terbiasa kalap
: duhai Rahasia Terindahku
cukupkanlah aku dengan satu
biar pertobatanku benar-benar utuh
walau Engkau tentu tahu
ini begitu menyiksaku
: duhai Rahasia Terindahku
izinkanlah kuingkari naturku
hingga perjumpaan itu tiba waktu
bersama perempuan yang memahamiku utuh
kembali menyatu
: duhai Rahasia Terindahku
kuterima takdirku
maka kumohon, jangan tertawai aku seperti itu
sungguh, aku malu
malu
Yogyakarta, 06/10/2017
SEMBUNYI
terbuka sudah
Tuhan, aku sumarah
telanjang tak bernama
terdiam dan mata ke tanah
maka hatiku bersua, Tuhan
dengan keinsyafannya
terbuka sudah
Tuhan, aku sumarah
Sidoarjo, 20/1/2018
TANYA PAGI INI
aku kembali bertanya pada hatiku, pagi ini
: apa sebenarnya yang kucari?
bukankah sudah kutemukan apa itu yang sirri
lantas apalagi?
perlahan dan awalnya dengan berat hati
sudah kutinggalkan apa itu yang menggari
demi sisa perjalanan yang kurasa tinggal menghitung hari
maka, apa sebenarnya yang masih kucari?
: duhai Puja Puji Cintaku
ampunkanlah samudera dosa dan kesalahanku
sungguh, tiada yang paling kurindu di sisa umurku
kecuali Engkau izinkan aku kembali pada-Mu
dalam pelukan ridha dan maghfirah-Mu
: duhai Manik Mata Cintaku
Engkau tahu aku
Sidoarjo, 11/4/2018
SAJADAH AIRMATA
mengapa senyum itu menyapa
saat ingatanmu menyebut sebuah nama?
walau bibirmu terkatup sempurna
kutahu engkau malu untuk mengakuinya
bahwa kerinduan itu masih saja setia
sembunyi di balik rerusuk tak kasat mata
wahai peziarah, mengapa tak kausebut saja namanya?
mengapa harus kaueram di kesunyian sana?
mengapa harus kauleram gelegaknya biar tak membuncah?
apakah engkau malu bila bata-bata pertobatanmu kembali runtuh?
apakah engkau malu bila lembaran baru hidupmu kembali keruh?
tahukah engkau apa itu cinta, wahai peziarah?
saat ujudmu sirna dalam sebuah sujud di atas sajadah
menginsyafi kerapuhanmu sebagai seorang sahaya
hanya bisa menitikkan airmata
di antara sedu-sedan perasaan yang berkata
: Tuhan, bukan harus yang paling kuinginkan
tetapi yang menurut-Mu terbaik untuk bisa kuperankan
wahai peziarah, jika cinta ini yang kaupersaksikan
maka biarlah ia tetap tereram
maka biarlah ia tetap terleram
hingga sajadahmu masih bisa mendengar sebuah ratapan
: Tuhan, di hadapan-Mu aku masih saja telanjang seperti dulu
malu aku, Tuhan, malu
Sidoarjo, 4/5/2018
DALAM KUBANGAN
duhai Titik Terindah Mata Batinku
ampuni aku
tunjuki jalanku
di sisa perjalanan kefanaanku
letih sudah aku
dalam kubangan yang Engkau Maha Tahu
duhai Titik Terindah Mata Batinku
selamatkan aku
sungguh
Sidoarjo, 26/6/2018
UNGGUN CINTA
adakah yang menggumam dalam kesendirian?
: mengapa belum juga terang yang kusaksikan?
kawan, sudahkah engkau meninggalkan peraduan?
atau justru semakin dalam engkau tenggelam bersama lamunan?
sementara kegelapan tak sejenakpun lelap dan istirah menjinakkan lawan-lawan
adakah yang menggumam dalam kesendirian?
: mengapa belum juga terang yang kusaksikan?
kawan, mungkin kita belum cukup maksimal mengikhtiarkan
agar nyala unggun ini membumbung tinggi hingga mereka turut mengaminkan
Jakarta, 27/7/2018
JALAN PEZIARAH
kawan, aku pernah kutipkan sebuah kalimat padamu
yang lerah di bibir peziarah cinta dari Bhsarri
tentang rumah persahabatan yang tertutup rapat untukku
karna hingga kini pintu kepedihanmu itu masih juga terkunci
saat kutanya diammu engkau justru tertawa
bahwa luka bagi para peziarah, tak patut dibagikan selain dengan-Nya
: innama asyku bathsy wa huzni ilallah
maka terdiamlah aku mengamini seraya berkata dalam dada
: uhibbuhu fiika ya Allah
kawan, telah banyak hari-hari berlalu dan tak mungkin kembali
hanya tersisa istighfar dan harapan di tiap penghujung kenangan
betapa singkatnya waktu untuk disiakan dalam lamunan dan keriuhan
maka biarlah kita yang berkhidmah bersama para kekasih
memijah letih di jalan sunyi hingga terlupakan
demi Sang Maha Cinta kelak berkenan mengingat ini dengan senyuman
pada tisik-tisik wisik yang menghangati jiwa
pada kata-kata tak terkatakan yang membising di keheningan sukma
bersama yang berjalan dan berlari saat berhenti
bersama yang menari dan bernyanyi saat menyaksi
kawan, biarkanlah yang tenang jadi gelombang
bersama mereka yang memahami kita nikmati airmata ini dengan kelegaan
: Tuhan, untuk doa yang memilih sembunyi agar meraung di altar-Mu yang suci
dengan cara-Mu yang terindah, jadilah!
Malang, 25/8/2018
RINTIHAN SEKEPING BATU
saat membaca bersama bulir-bulir airmata yang menemani dengan setia
tentang derita saudara-saudara seiman yang menyayat luka di kedalaman sukma
doaku untuk mereka:
Rohingya di Myanmar
Uyghur di Cina
Bengali dan Kashmir di India
Palestina di tanah airnya
dan Tatar Muslim di Rusia
semoga Allah menolong dan melindunginya
kemana lagi sisa usia kan dilabuhkan
jika peziarah telah menginsyafi kenyataan
bahwa kesalehan bukanlah saat jiwa suwung dari selain-Nya
tetapi ketika rintihan yang lemah dan tertindas mampu melubangi sekeping batu di relung dada
: duhai Sang Maha Cinta
aku mengasihi mereka karena imannya
aku turut perih karena pedih yang menimpa mereka
mengapa? karena aku juga manusia
Banjarmasin, 31/8/2018
MELUKIS MASA DEPAN
sampai di manakah perjalananmu, kawan?
apakah sudah di tepian neraka kini engkau berdiri memandang?
terlihatkah olehmu gerbang surga yang ada di seberang?
lantas, apa yang memberati kakimu untuk melangkah meniti jembatan?
perempuan?
sepiring nasi di meja perjamuan?
atau nafas tersisa yang engkau hembuskan?
kawan, apa artinya jadi intelektual atau cendekiawan
jika seonggok hatimu tak lagi memiliki sisa keberanian
di zaman ketika Fir’aun telah menyempurnakan bata-bata piramida kekuasaan
dengan Junud, Sahhar, Qorun, Mala’, dan Hamman ikut mengaminkan
sungguh, petualangan terindah bukan milik an-Nas yang tertaklukkan
tapi bersama Musa, Harun, dan para budak yang memilih pemberontakan
kawan, tiga orde sudah negeri ini merasa menikmati kemerdekaan
tapi kedaulatan, mengapa masih belum sepenuhnya di genggaman?
sebagai sebuah bangsa, bukankah kita sama-sama menginginkan kehormatan?
biar anak cucu kelak tak lagi dikenal dunia sebagai para pecundang
dengan seolah-olah santun menyebutnya bangsa berkembang
kawan, apa yang tengah engkau lakukan sekarang?
apakah engkau melukis peta tanah pengharapan?
apakah jalan setapak yang membelah lautan persoalan sudah engkau gariskan?
apakah cetak biru bangunan istana, pasar, surau, dan padepokan tlah usai engkau kerjakan?
ataukah bersama Khidr dan para murid engkau kini masih asyik berdiskusi sambil tertawa
: bagaimana melubangi perahu tanpa menenggelamkan penumpangnya?
bagaimana membunuhi kekanak-kanakan kita tanpa kehilangan keceriaan ketika menjadi dewasa?
bagaimana menegakkan rumah yang roboh tanpa berkesah
bila naungannya ternyata bukan untuk kita?
kawan, sampai di manakah perjalananmu kini?
tak lelahkah engkau sembunyi?
menjadi paria agar tak seorangpun mengenali
bahkan oleh rerusukmu sendiri
kawan, mari menghitung hari
semoga di persimpangan jalan, kita bisa bersua kembali
menepati janji yang sudah kita maharkan dengan sisa hidup ini
Surabaya, 27/10/2018
DI SINI AKU MENYAMBUTMU
kematian sudah di depan mata
akhir telah menghitung angka
apakah bersama para pemberani engkau berdiri?
atau bersama pecundang kini engkau begadang?
kawan, aku bertanya
: apakah mimpimu sudah sunyata?
ataukah masih tenggelam di kedalaman sukma?
jawablah!
ini jawabku, kawan, dengarlah!
: di penghujung tahun ini aku mengikat janji
bahwa perjalanan akhir sudah dimulai
maka kawan, persaksikanlah!
gerbang surga dan neraka sudah kasat mata
jalan pun tiada lagi keraguan di mana ujungnya kita kan bersua
di bilik istana atau di balik jeruji penjara
bismillah!
laa hawla wa laa quwwata illa billah
Mojokerto, 29/12/2018
TAKDIR SUNYI
duhai kesunyianku
dengan apa lagi aku bisa menjamahmu
jika sunyi akan selalu menjadi takdirmu untukku?
saat jari-jemari ini bukan milik musisi
saat suara ini bukan milik penyanyi
dan saat kata-kata ini hanya terlahir untuk sesaat lalu mati
percayalah, tidak akan ada nada
tidak akan ada orchestra
pun sanjak yang akan memperbudak kata-kata
duhai kesunyianku
dengan apa lagi aku bisa menjamahmu
jika sunyi akan selalu menjadi takdirmu untukku?
pada manik mata yang telanjang
membuka rahasia hati yang terlarang
maka sepi adalah karib rasa malu dan hasrat yang terpendam
di hadapan cinta, Sang Maha Cinta seolah asyik menertawakan
duhai kesunyianku
tidakkah engkau tahu, bahwa api hidupku
perlahan-lahan redup tanpamu
Sidoarjo, 17/1/1/2019
SUMPAH TEGUH
Tuhan, aku terima takdirku
sebagai kehendak cinta dan kasih sayang-Mu
memang apalagi yang bisa kulakukan
jika dua kali Engkau lepaskan kekasih dari pelukan
hanya asa dan prasangka baik yang masih terus kumohon agar tetap nyala
bahwa perpisahan ini tak lain adalah cara-Mu memurnikanku untuk cinta
biar cukup pantas doa-doa menghiba cinta-Mu itu akhirnya Engkau ijabah
biar benar jika memang Engkaulah cinta terindah di kedalaman sukma
Tuhan, akan kususuri sisa hidupku ini dengan cinta-Mu
akan kunikmati sisa perjalanan ini dengan kasih-Mu
akan kuhiasi sisa kefanaan ini dengan sayang-Mu
maka kumohon, kuatkanlah aku untuk menjadikannya sumpah yang teguh
sungguh, tak sekalipun aku meragukan-Mu
Sidoarjo, 05/04/2019
TAK ADA LAGI PUISI
untuk apa kata-kata
bilamana tanpa frasa
pun jika paragraf tak pernah menjelma
kalimat itu tetap saja dapat terbaca
seperti janji seorang lelaki
kepada perempuan yang ia kasihi
bahwa tidak ada lagi puisi
karena cinta bukan lagi fiksi
jadi biarlah ia tersenyum dalam sepasang mata yang saling memandang
biarlah ia berbisik dalam sepasang bibir yang berbagi hangatnya kecupan
biarlah ia berkata dalam sepasang lengan yang mengerat-lingkarkan pelukan
biarlah ia tertawa dalam sepasang tubuh yang berpasrah mencipta penyatuan
ya, biarlah ia menjadi realita yang hidup dengan sepenuh penghayatan
tidak ada lagi puisi, masih
terlebih saat janji sudah berpusara suci
duhai kekasih, kini, izinkan aku menari
biar jari-jemari mimpi dapat berayun
biar tubuh fikiran dapat beralun
dan cinta kita takkan pernah usai berpantun
tanpa kata-kata
tanpa frasa
tanpa alinea
ah, entah dikau namakan apa
Surabaya, 05/09/2019
SAATNYA MENERTAWAI
bapak masih tertawa
menyaksikan matahari dan rembulan saling sapa
berbincang laiknya kekasih
tak hirau dengan gerhana yang perlahan menepi karena risih
apa pesannya?
jika turut menyaksikan, Azka tentu bertanya mencari pasti
Pramana ikut mengangguk menyahuti
pun Kinasih jika saja memahami
bapak pernah bicara pada mahasiswa
mengapa kita harus merangkai seribu frasa
untuk menjelaskan sebuah pesan yang seolah melelahkan logika
jika hanya dengan satu kedipan mata
semua bisa menjadi jelas apa arti dan maknanya
bapak masih tertawa
menyaksikan matahari dan rembulan saling sapa
berbincang laiknya kekasih
tak hirau dengan gerhana yang perlahan menepi karena risih
apa pesannya?
jika turut menyaksikan, Azka tentu bertanya mencari pasti
Pramana ikut mengangguk menyahuti
pun Kinasih jika saja memahami
saat dua muda-mudi beranjak pergi
bapak masih saja tertawa geli
aih, betapa cepatnya pergantian hari
Sidoarjo, 06/09/2019
ENERGI ASA
riuh menanti
penuh harap
mungkin, ya, mungkin
siapa tahu
: aku!
Surabaya, 07/09/2019
OMBAK DAN CINTA
berkali sudah kutatap cakrawala
pada garis di kejauhan yang mempertemukan dua wajah
sama-sama diam tanpa kata
hanya sepasang mata saling memandang penuh tanya
namun sebelum sempat terjawab, mereka harus berpisah
: sayonara!
lambaian ombak di buritan Dharma Kartika
melepas jejak dengan bayangan tanpa rupa
bahwa seorang lelaki pernah berdiri di tempat ini tuk bersua
menyaksikan rembulan yang mulai rekah untuk kesekian kalinya
apa artinya semua ini duhai peziarah?
jika sudah kaujumpai wajah yang pernah kaulihat sebelumnya
jika sudah kaujabat jemari yang pernah kaugenggam di alam tak kasat mata
lantas apa kuasamu kini duhai peziarah?
jika kata-kata kembali hanya katarsis bagi seonggok hati yang kelana
sendiri menepi, sunyi dalam riuh merapal lafal-lafal tanpa suara
seperti biasanya, hanya Sang Maha Hening menjadi penyaksinya
dan malampun berayun dalam hembusan
membisik tanya tentang cinta
yang tentu saja, bukan jawaban yang ia pinta
di usiaku yg tak lagi muda
kuinsyafi sepenuhnya, semua ada masanya
dan hari ini serta esok bukan lagi waktunya bertanya
karena di seberang cakrawala, kutahu, ada yang menungguku segera tiba
dua bidadari dan dua asuhannya
maka duhai hitam yang sembunyikan bulir tangisan
bersabarlah, biar kutunaikan sisa kembara
bersama dua ksatria dan seorang srikandi yang tengah belajar aksara
hingga bila waktunya tiba, rengkuhlah aku kapanpun dan di manapun engkau suka
aku rela
yaa ayyyuhan-nafsul-muthmainnah
irji'ii ilaa rabbiki radhiyatam-mardhiyyah
fadkhulii fii 'ibaadi
wadkhulii jannati
Masalembu, 28/9/2019 - 3/10/2019
MONOLOG RINDU
kujenguk masa lalumu karena rindu
di lembaran-lembaran usang catatan perjalananku
mungkinkah rasa itu masih bisa kusentuh?
sementara waktu seolah tak lagi berpihak padaku
membawamu menjauh dan kian jauh
di mana engkau akan bercermin duhai peziarah?
benggala sukma tlah keruh bahkan di bawah naungan cahaya
ketelanjanganmu tak lagi memendarkan aura cinta
kesunyianmu bukan lagi gelombang yang memekikkan puja
maka pada apa engkau akan bercermin duhai peziarah?
aku malu untuk kembali bertanya bagaimana
sebagaimana mengapa yang menjadikan bibirku kelu untuk mengucapkannya
Tuhan, seperti biasanya, di hadapan-Mu aku berpasrah
maka ajarilah sahaya-Mu ini agar bisa berkidung laksana senja
yang menyambut dan memeluk kegelapan dengan senyum terindahnya
karena tak meragukan janji malam untuk memperjumpakannya dengan rona surya
Tuhan, maka maafkanlah huruf-Mu ini yang Engkau izinkan terbaca penuh keterbatasan
jika masih saja memandang ketelanjangan sebagai persembahan
di altar-Mu yang harusnya selalu disucikan
demi melabuhkan keangkuhan agar menginsyafi kerapuhan
sebagaimana helaan nafas yang leram dalam pejam
pun desah tertahan yang senyap dalam perjumpaan dua pengakuan
karena di titik itulah kusaksikan ayunan wajah kehambaan demikian terang
seperti syukur yang terpana rasa kekaguman
saat keindahan menyibakkan burdah keagungan
pada bebukitan yang mengundang
pada hamparan pualam yang berembun penuh kehangatan
pada lereng-lereng licin di mana jemariku merayapi tepian demi tepian
pada ceruk tersembunyi yang menggamit sapa untuk menjamah
pada kedalaman yang menenggelamkan semesta cipta
Tuhan, kini tanpanya, masih aku
tanpa keraguan, pada-Mu, berpasrah utuh
Sidoarjo, 07/10/2019
GURUH DAN SERIGALA BERHATI BATU
seperti baru kemarin engkau menemaniku
bermain kata sambil berbagi kecupan meleram rindu
menamati bintang-bintang di kejauhan seolah ikut merayu
agar bersegeralah membungkus malam dalam kehangatan peluh
: apa yang kalian tunggu?
huh! buncah desahku pada kelebat kenangan beraroma gaharu
saat senyum tetiba rekah pada lentik bulu matamu yang mengerjap sendu
: Tuhan, dengan cara inikah Engkau akan menertawakan sisa hidupku?
kilasan masa lalu satu persatu menghampiriku
bahkan dari keheningan cerita yang sudah sedemikian jauh
seolah ingin mengingatkan kembali seekor serigala berhati batu
betapa kejalangan dan ketelanjangan itu bisa menghadirkan guruh
di sukma yang meraungkan penyesalan dan umpatan rasa malu
tentang kelelakian yang pada akhirnya harus dipaksa berlabuh
untuk meracaukan sebuah kalimat: cukup sudah dengan semua itu!
huh! lagi-lagi, buncah desahku pada kelebat kenangan berwarna kelabu
saat wajah-wajah perempuan itu hadirkan nama-nama yang biarlah Tuhan yang tahu
: duhai Rahasia segala rahasia, dengan cara inikah Engkau akan menertawakan sisa hidupku?
sungguh, berpasrah sudah aku utuh
maka tertawalah sesuka-Mu, duhai Manik mata batinku
Sidoarjo, 18/10/2019
THAWAF CINTA
tunai sudah nadzar itu dengan izin-Nya
merebahkan rikma di atas tanah yang dirindukan mama
maka semoga aku tak salah duga
sebagaimana di putaran ketujuh thawaf cinta
dikau menggamit lenganku disaksikan oleh mereka
: duhai Penyaksi yang memperantarai hamba dan hatinya
kini aku kembali, maka tertawalah seperti sediakala
memang cerita apalagi yang bisa kudedah dari kisah peziarah
sementara tak lagi ada pinta usai Engkau membuatnya berpasrah
untuk yang kesekian kalinya
: duhai Penyaksi yang memperantarai hamba dan hatinya
kanthi beninge manah, gesang manembah
Surabaya, 25/11/2019
WAJAH CINTA
ketika mata masih terjaga
menyaksikan wajah-wajah di dinding bata
Tuhan, aku menginsyafinya sepenuh jiwa
bahwa darahku ada pada mereka
bahwa nafasku ada pada mereka
tiada yang berubah
tiada yang berpisah
semua masih ada
pada dimensinya
di sini sebagian bersama
di sisi sebaliknya sebagian pun bersua
maujud ba'da maujud
maujud fii maujud
maujud qabla maujud
rahsa andasih
: Gusti
Sidoarjo, 29/11/2019
REMBULAN BERTAKZIAH
kemana rembulan yang iringi keberangkatanku tadi?
apakah subuh yang menghampiri membuatnya undur diri?
kemana ia pergi?
dedaunan kulihat masih bersama rerumputan
mengamini hati yang membisikkan asma-asma bak jiwa yang tengah kasmaran
tampak diam tepekur mensunyikan ruang yang penuh dengan gelombang
dan akupun tengadah lagi, mencari-cari keberadaan rembulan
namun usai beberapa saat, tetap saja, ia tak lagi kelihatan
apakah langit menyembunyikan dalam gelapnya agar tak bisa dijumpai?
ataukah ia mendatangi rumah duka tuk bertakziah demi selangkah mendahului?
sepi hanya ilusi
pun demikian sunyi
memang siapa yang akan memahami?
ada hati yang terbiasa menyambut pagi
dengan ditemani secangkir teh hangat siap tersaji
huf! mungkin tidak di sini
Sumenep, 2/12/2019
KEMBALI KE GUA KAHFI
ada isyarat dari jauh
menanyakan apakah aku masih berteduh
di bawah rindang kesunyian tanpa peluh
seraya tertawa seolah ia berharap ada yang akan berkeluh
maaf kawan, jika harus mengecewakanmu
karena mimpi saat ini hanya satu
bahwa seluruh titipan yang Tuhan percayakan bisa tinggal di sisiku
dan membersamai mereka hingga akhir waktu
meski dengan segala keterbatasan yang aku sangat tahu
memang mau apa lagi
mungkin inilah laku yang memang harus dijalani
sembari berikhtiar agar sisa hidup ini masih punya arti
setidaknya untuk orang-orang yang cintanya tak menghitung hari
Sidoarjo, 11/12/2019
MENGGESER PINTU BATU
redup langit seolah turut meredupkan bumi
bukan karena tidak ada cahaya
tapi ilalang yang biasa bercengkerama tetiba diam hilang suara
mungkinkah kata-kata terbawa angin pergi
hingga jelaga di perapian pun enggan untuk bicara
tentang akhir dunia atau sekedar cara bagaimana memadamkan bara
bukan untuk bertanya kearah mana kaki ini harus melangkah
tapi biarlah yang terbiasa dengan yang tak kasat mata menyudahinya
agar fikiran bisa kembali menjenguk lembaran-lembaran berkarib pena
menjamas kesadaran tanpa dupa pun tanpa mantra
cukuplah dengan berucap: bismillah
syarah al-Hikam milik Ibnu 'Ajibah sebagai permulaannya
mengantar menyaksikan kembali tarian jiwa Ibnu 'Atho`illah
pewaris Abi al-'Abbas al-Mursi sang mursyid Syadziliyah
maka terbanglah bersama sayap-sayap syairnya, duhai peziarah!
yaa Ghany man lil-faqiir siwaaka
yaa Qawy man lil-dha'iif siwaaka
yaa Qadiir man lil-'aajiz siwaaka
yaa 'Aziiz man lil-dzaliil siwaaka
Sidoarjo, 20/12/2019
RENJANA PEZIARAH
sekian lama kusadari, ada yang hilang
renjana yang mampu membuat peziarah berpetualang
menikmati waktu tanpa memikirkan kapan harus pulang
menyecupi wangi-wangi bunga yang berikan kehangatan
menjadi lelaki seolah berkah yang takkan berkesudahan
ya, ada yang hilang
meski renjana itu kutahu masih berjaga di kedalaman
tapi ia memilih diam, tak berucap, hanya mengerling isyaratkan kerinduan
aih, apakah ia tengah berempati pada karibnya yang malas untuk berbincang?
sampai kapan?
entahlah, mungkin ia menanti saat kejalangan tak sanggup lagi menahan kebekuan
Tuhan, Engkau tahu sahayamu yang bengal ini
dan Engkau tahu kemana ia berujung jika tiada yang menyudahi
: tak sekalipun aku meragukan-Mu, duhai Rahasia hati yang merintih perih
Sidoarjo, 4/1/2020
Texte: Nyong ETIS
Tag der Veröffentlichung: 18.01.2020
Alle Rechte vorbehalten