Cover

Ngaben



“Kang, anak kita harus segera dikubur”

“Cepatlah Kang, sebelum hari terang, nanti kita disangka membunuh”

Tinggal dua isapan, asap melayang berhembus mengantar irama kepedihan.

Anak perempuannya sudah 3minggu demam. Adzan Isya tadi malah membawa nyawa sang anak pulang.

Gerobak yang selama ini jadi karavan, berubah jadi keranda dalam hitungan jam.

Embun masih menjilat ujung daun sedang matahari merangkak malas keluar peraduan.

Macet, semua orang merubung gerobak terbakar. Mata-mata nanar menyaksikan ngaben dadakan.

Seiring jilatan api yang kian membesar, sepasang suami istri melangkah menjauh, gontai.


***




Merah




“kalau kita sudah punya motor, kan Bapak bisa ngojek Bu”

“Siapa tahu pendapatannya lebih dari hanya sekedar menarik becak”

“Sekolah Tole makin mahal, sebentar-sebentar minta bayaran, tidak tahu untuk bayar apa saja, kata Pemerintah sekolah gratis, gratis apanya?”

Merah, sewarna darah. Bebek ditukar celengan yang bersekutu dengan hasil jual becak dadakan.

3 bulan berlalu. Pendapatan terasa lumayan.
Adzan Isya baru saja bertalu, serasa tak enak badan, ingin lekas pulang.

Merah, sewarna darah. Penumpang terakhir menebas lehernya.


***




Gelap




“Jangan malam ini”

“Harus sekarang, mumpung mendung Bang”

“Biar saya yang jaga, bukannya Abang butuh uang?

Hatinya bimbang. Anak lelakinya tergolek lemah dilantai beralaskan tikar pandan. Mantri puskesmas bilang, si bujang harus segera diopname. Rumah sakit tak kenal belas kasihan, mereka cuma kenal lembaran uang.

1 sisi kabel terlepas dari ikatan, uang membayang.

1 tujuan, kesembuhan bujang.

1 jepitan tang, maka kabel jadi gulungan.

Pagi ini, beberapa koran mewartakan, KRL terlambat jalan. Seseorang menggantung. Kesetrum dan terbakar.


***



Lapar




Petang. Tandan Pisang.
Lekas pulang. Anak istri butuh makan.

“Maliiiiiiinnnnnngggg!!”

Lebam sekujur badan. Sisa-sisa hantaman terasa nyeri dibadan. Meringkuk menggigil dalam sel tahanan. Tandan pisang tersenyum di pojok ruangan. Dia akan jadi bukti barang curian.


***




Ektra Kurikuler




“Bangun nak, bukannya hari ini upacara?”

“Bergegaslah, nanti terlambat sekolah”

“Kurang ongkosnya Bu, soalnya nanti sampai sore, ada pelajaran tambahan”

Uang untuk membeli bumbu, beralih tangan demi putra tersayang.

Tunas muda harapan bangsa. Penerus tahta, kebanggaan keluarga.

Adzan Maghrib berkumandang. Penjaga warnet senang, ada berita dan video artis bermesraan. Hari ini banyak remaja berseragam, mengisi pundi-pundi uang.


***




Buah Hati




“Ayah, besok aku ikut piknik sekolah, Ayah harus mengantarku sampai bisnya berangkat ya?

“Tidak bisa sayang, besok Ayah ada rapat, sama bunda saja ya?”

“Bunda, besok Bunda yang mengantar aku ke sekolah ya?”

“Bunda juga tidak bisa sayang, Bunda kan harus berangkat kerja pagi-pagi, kalau telat? Bunda bisa dimarahin Boss, lagipula besok ada laporan yang harus segera Bunda selesaikan. Minta di antar Bi Nah saja ya?”

“Sekali-sekali, aku ingin Ayah dan Bunda yang mengantar ku sekolah”

Pintu kamar pun tertutup jauh lebih pelan.

11.30 Rapat sedang berjalan.
11.30 Laporan harus segera selesai.
11.30 Bis wisata yang mengangkut rombongan anaksekolah, terguling masuk jurang.


***




Di Gerbang Sekolah




Dering bel nyaring berbunyi. Anak-anak berhamburan, bergegas masuk ke dalam ruang-ruang kelas. Anak-anak berseragam merah putih, sama seperti yang kupakai.

Halaman dan gerbang sekolah perlahan senyap. Seorang anak lelaki gendut, tergopoh berlari. Sebuah gelas minuman kemasan, tersisa separuh, dia buang sembarangan.

Aku ikut berlari searah dengannya.

“Bejo!! Ayo!!”

Aku menghampiri Bapak, membuang isinya dan memasukkan gelas minuman tadi ke dalam gerobak.


***



Hari Terakhir




“Slamet, ikut Ibu ke kantor, nak!”

Slamet mengikuti langkah gurunya ke kantor.

“Slamet, terpaksa hari ini Ibu beri surat peringatan untuk orangtuamu. Kami bukan sekolah negeri yang dapat bantuan dari Pemerintah. Kamu kan tahu, sudah 6 bulan kamu belum bayaran, iya kan? Bapak dan Ibu guru juga butuh makan, kalau tidak bisa bayar juga, maafkan kami nak, kamu tidak bisa sekolah lagi di sini”

Slamet mengambil surat dari tangan gurunya. Langkahnya gontai saat kembali ke kelas. Ini sudah kali ke 4 dia harus menghadap bendahara sekolah dan pulang membawa surat peringatan untuk Bapak.

Madrasah Tsanawiyah Nurul Qalam. Bapak menyekolahkannya di sana, karena tak sanggup membayar uang muka untuk masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri.

Bapak, sudah 7 bulan tidak dagang. Gerobak berikut barang dagangannya dihancurkan Satpol PP saat operasi pedagang kaki lima.

Sayup-sayup dari ruang kelas lain, guru PPKN sedang menjelaskan tentang UUD 45.

“Anak-anak!! UUD 45 mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara. Berdasarkan Bab 13 pasal 31 Ayat 1 dan 2, Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan… dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya…”


***




Sesak



Perempatan. Perempuan. 11 tahunan.

Berbekal kepingan bekas tutup botol yang bermetamorfosa jadi kecrekan, mengiring penggalan-penggalan lagu.

Telapak mungilnya tengadah dari kopaja sampai inova. Hanya hitungan jari keping logam mampir di tangannya. Pertanda tak cukup setoran hari ini, sedang bilur memerah di punggung sisa 2 hari lalu belum lagi sembuh. Terik mentari menambah perih.

Gubuk kardus tepi rel. Perut butuh makan, bossnya butuh uang. Kecrekan tak cukup menghasilkan, bunyinya terlalu sumbang.

Seorang pria lelap terpuaskan, setelah sebelumya menyelipkan selembar 20 ribuan diantara dadanya yang belum pantas disebut payudara. Keperawanan hanya kosakata, terukir di mega - mega, dan asa menguap bersama air got dan polusi. Dia belum mengenal dosa, yang dia tahu hanya tangan dan sabuk bosnya jangan sampai mendarat tuk kesekian kalinya. Rasa takutnya mengalahkan sakit di selangkangannya.


***




Impressum

Tag der Veröffentlichung: 20.06.2011

Alle Rechte vorbehalten

Nächste Seite
Seite 1 /