Cover

Hidup hanyalah lintasan-lintasan. Beberapa diantaranya ingin kita kenang dan lupa. Namun kenangan pedih lebih tertancap dalam dibanding kenangan indah, padahal sepertinya, kadarnya sama




Akhir-akhir ini, ada sedikit masalah dalam hidupku. Masalah yang membuatku kembali teringat masa kecilku dulu. Hal itu membuatku beberapa hari ini, sering menghabiskan waktu, duduk termenung di sebuah taman. Mencoba mendamaikan pertengkaran yang aku bangun di dalam hatiku. Pertengkaran yang tercipta karena aku ingin melupa semua kepedihan dan hanya mengingat keindahan, dalam lintasan-lintasan waktuku. Namun hidup tak semudah itu. Dan sebuah trauma, selalu lekat bagai lem super kuat.

Taman ini hanya taman kecil dengan aneka mainan untuk anak-anak. Ayunan, jungkat-jungkit, palang-palang besi aneka warna, yang membentuk lingkaran untuk mereka panjat dan lain-lain. Sebuah kolam ikan dan air mancur kecil, juga menghiasinya. Aneka tanaman, membagi lahan di antara bangku-bangku batu. Beberapa pohon sawo kecik,ceremai, juga mangga bersenda gurau dengan aneka pohon kembang sepatu, mawar, krokot, kemuning juga teh-tehan.

Setiap sore, banyak anak-anak kecil yang diantar atau ditemani ibunya bermain-main di taman ini. Melihat canda tawa mereka, membuatku iri, di mata anak-anak sepertinya semua hanya ada canda tawa. Penuh aneka warna-warni, warna selain hitam dan kelam. Dunia bagi mereka, sepertinya hanya permainan, bukan beban. Namun ada ketenangan lain, ketenangan yang entah apa namanya, menyusup perlahan seiring semilir angin yang memainkan rambut dan membelai kulitku dengan lembut. Ketenangan yang merasuk ke telingaku berbarengan dengan suara-suara tawa mereka atau lembutnya rayuan ibu-ibu mereka kala mereka terjatuh dan hampir menangis. Aura perlindungan, selimut kehangatan kasih sayang seorang ibu. Dan itu membuat aku merasa lebih tenang.

Namun aku melihat seorang anak perempuan yang lain. Dia terlihat berbeda dan sendiri. Usianya mungkin sekitar 9 tahunan. Potongan rambutnya yang pendek dan memerah terbakar matahari. Kaos dan celana pendek, sepertinya sebuah keharusan, karena selalu pakaian seperti itu yang dia kenakan.

Kadang dia hanya memanjat lingkaran-lingkaran besi di tengah taman. Bosan meniti tiap palangan-palangan besi, dia berlari menuju ayunan di sudut taman di dekat rimbunan pohon sawo kecik.

Dia berdiri menjejak kayu alas ayunan dan mengayunnya semakin kencang, kencang dan meninggi. Tak dia pedulikan beberapa anak mengharap dia segera turun dan mereka bisa ganti naik ayunan tersebut sambil duduk tenang, berayun perlahan.

Dia berhenti kala bosan, bukan karena tahu giliran. Ayunan itu belum sempurna henti, saat dia melompat dan menuju mainan jungkat jungkit. Ku pikir dia akan mengajak anak lain untuk bermain bersamanya, duduk di sudut yang lain dan mereka naik turun bersama, berganti-ganti. Namun bukan itu. Dia hanya memilih naik sendiri, naik di tengah palangnya dan menaik-turunkan palang jungkat jungkit itu sendirian.

Matahari semakin turun ke barat. Lampu taman, satu persatu mulai menyala, seiring itu, anak-anak yang lain pulang bergerombol atau dipanggil dan dijemput ibunya.

Aku tak melihat seorang pun memanggil dan menjemputnya pulang. Saat taman semakin temaram, dia memilih naik perosotan dan meluncur turun, berkali-kali, naik lalu meluncur.

Meluncur bagimu terkesan lebih mengasikkan dibanding naik, berbeda dengan manusia dewasa, mereka gembira saat merangkak naik dan tidak mau turun bila sudah di puncak.

Aku berdiri, hendak pergi, tapi kau belum juga beranjak. Kelambu malam semakin turun, begitu asiknya kah dia, sehingga tak ingin pulang? atau lupakah Ibunya bahwa dia seharusnya sudah tiba di rumah saat gelap menjelang?

Aku menghampirinya. Dia duduk di puncak dan bersiap meluncur. Aku melihatnya tidak tertawa ceria saat tubuhnya menderas turun, pun sebuah senyum. Aku melihat guratan kesedihan dimatanya. Pandangan mata kami bertemu, dia meragu, lantas menunduk.

“Kau tidak pulang?” Aku menyapanya saat dia hendak kembali naik. Sebuah gelengan kepala, diberi sebagai jawaban.

Aku mengikutinya menuju tangga.

“Menunggu Ibumu menjemput?”

Dia memegang gagang tangga, sebelah kakinya hendak naik, dia menggeleng.

“Baiknya kau pulang, Ibumu nanti khawatir”

Aku memandangnya, 3 buah anak tangga sudah dititinya. Aku melihatnya terus naik hingga di puncak kembali dan bersiap meluncur, aku kembali bertanya.

“Siapa namamu? Rumahmu jauh?”

Aku berjongkok tepat di depan kakinya yang baru saja mendarat turun. Aku memegang bahunya, memandangnya lekat, kali ini dia beranikan diri menatapku. Dalam hitam matanya, tak hanya kesedihan tersirat, juga kilatan kecewa yang tertahan, bergejolak bagai letupan-letupan magma, menunggu dan menjadi letusan amarah.

“Ayo pulang, ku antar kau sampai rumah”

Aku menawarkan jasa. Jasa yang aku sendiri tak tahu, perlukah sebuah jasa ditawarkan pada mereka yang tak memerlukannya.

“Aku tidak ingin pulang” jawabnya.

Aku tercenung.

“Tapi hari sudah malam, nanti Ibumu mencarimu” Aku berkata sambil membantunya berdiri, lantas mengajaknya duduk dibangku batu di pinggir taman, di dekat tiang lampu.

“Mereka tidak akan mencari, bila sedang bertengkar”

Aku tercengang. “Bertengkar? siapa?”

Kami duduk bersisian. “Ibu dan Bapak.Mereka selalu bertengkar. Jam 8 nanti Bapak pergi, baru aku pulang”

Aku diam dan menghela nafas. Aku mengelus kepalanya perlahan, sekali.

“Mengapa kau main sendirian? tidak bergabung dengan anak-anak lain?”

Aku mengubah topik pembicaraan. Aku tak ingin mencampuri urusannya lebih jauh. Dia tak menjawab. Dia bangkit dan hendak bermain kembali, hanya kami berdua di taman ini. Taman, kini menjadi miliknya seutuhnya.

“Tunggu, tidakkah kau lapar? mau ikut makan denganku?”

Dia menghentikan langkahnya, memandangku dan mengangguk.

Aku tersenyum. Kuulurkan tanganku dan dia menerimanya, sebuah senyum terukir di sudut bibirnya.

Kami menuju sebuah warung di pinggir jalan di dekat taman. Sepiring nasi goreng dan segelas es jeruk dimakannya dengan lahap. Aku menyeruput jeruk hangatku perlahan, menelusuri wajahnya yang sepenggalan waktu, terlihat lebih tua dari umurnya. Sepanjang dia makan, aku berusaha mencari tahu tentangnya, tak berhasil, dia lebih banyak diam dan menggeleng.

“Sudah hampir jam 8, ayo kuantar kau pulang” Aku berkata sambil membayar makanan dan minuman. Dia mengangguk.

Aku mengikuti langkahnya menuju rumah. Sebuah rumah mungil, berjarak beberapa blok dari taman. Terselip diantara petakan-petakan rumah yang lain, berdesakan. Suara-suara teriakan, samar terdengar.

“Sudah sampai. Mau masuk?”

Satu pertanyaan yang akhirnya kau lontarkan. Aku baru saja hendak menjawab, saat seorang perempuan dan laki-laki keluar dari dalam rumah dan berteriak,

“Dari mana saja kau? kau dan ibumu sama saja, susah diatur. Dasar anak sundal”

Laki-laki itu berteriak, tangannya kasar mendorong tubuhnya masuk, tangan yang satunya di daratkan di dahinya.

Tubuhnya yang kecil, terdorong hampir jatuh, hampir saja aku reflek hendak masuk dan menolongnya, saat..

“Kemana saja kau? masuk!! kau dan Bapakmu sama saja, tidak tahu diuntung. Dasar anak setan”

Aku tercengang, Perempuan yang ku kira pasti ibunya, menjambak kasar bajunya dan menyeretnya masuk, berbarengan dengan itu sang pria pergi bergegas.

Aku melihatnya berusaha menatapku, bibirnya hendak mengucap terima kasih, tapi pintu segera tertutup. Aku termangu. Aku berbalik, menjauhi rumahnya. Ahh.. bahkan dia pun lupa untuk sebutkan nama.

Aku menengok rumahnya sekali lagi. Lintasan-lintasan hidupku menyerbu masuk ke dalam benak, yang beberapa hari ini, aku coba damaikan. Aku melihat diriku dalam dirinya. Aku dan dia sama mengalaminya, hanya berbeda masa.

Impressum

Tag der Veröffentlichung: 04.04.2011

Alle Rechte vorbehalten

Nächste Seite
Seite 1 /