SATU
Cuaca memang sulit ditebak pada masa sekarang ini
. Cuaca baik bisa berubah gelap gulita dengan awan hitam yang tiba-tiba menyergap. Namun awan hitam belum tentu sebagai pertanda hujan. Di tengah benderang, bisa terjadi hujan sangat deras.
Irama memang sudah berubah. Sulit mencari pertanda. Seingatku waktu kecil dulu, ada alur yang hampir pasti guna mengetahui hujan akan datang pada saat siang, misalnya. Langit yang terhiasi awan hitam berarak. Mendung. Rintik-rintik air menyirami. Gerimis. Menderas. Semakin deras. Perlahan berkurang. Akan terdengar irama tetesan sisa hujan yang seringkali melahirkan imajinasi dan menjadi karya fiksi. Terang perlahan. Ah, masa-masa seperti itu kini sekedar menjadi dongengan belaka. Anak-anak kita bila diberitahu pastilah tak percaya. Pengalaman sehari-hari tidak seperti itu.
Semalam, sekitar pukul setengah sepuluh, bersama dua orang kawan, saya meminta mereka untuk mengajak berputar-putar kota Semarang. Sudah lama tak menyaksikan kehidupan malam. Apalagi menikmatinya. Seusai menjenguk bayi seorang kawan di sekitar Menoreh, dengan dua motor kami mengarah ke RS Karyadi, berbelok kiri menuju Taman Tugu Muda. Jalan masih terlihat basah, sisa hujan deras beberapa waktu lalu. Kami menyisir seperempat putaran Taman itu menuju Barat Laut. Jalan Imam Bonjol.
Di Perempatan, terhadang lampu merah. Hujan deras tiba-tiba datang. Agak kalut juga. Tidak membawa mantel, sedang di dalam tas ada laptop. Beruntung merah berganti hijau, segera kami melaju, ke pojok jalan, masuk ke dalam halaman pertokoan. Dua motor melakukan hal yang sama dengan kami.
Di emperan toko, ada empat orang. Satu orang setengah baya tampak terlelap tidur beralaskan kardus-kardus. Di sebelahnya Ada tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan yang tengah duduk beralaskan kardus yang mungkin nanti menjadi alas tidur mereka pula. Ketiganya asyik menikmati kepulan rokok di malam yang memang dingin dengan air tumpah ruah berpesta terjun dari langit.
Seorang kawan, dulu pernah bertahun menjadi anak jalanan, kini menjadi pendamping anak jalanan di sebuah Yayasan, menyapa dan bersalaman dengan ketiganya. Penampilan mereka tampak bersih. Dua perempuan berwajah manis, dan laki-lakinya terlihat ganteng. Aku hanya menganggukan kepala yang terjawab dengan tindakan yang sama.
“Anaknya Kusrini,” bisik kawanku.
“Yang mana?”
“Yang hidungnya di tindik,”
Aku memandang anak perempuan yang dimaksud. Kukira umurnya sekitar 12 tahunan. Berkulit hitam manis. Baju lengan panjang kotak-kotak berwarna biru tua yang dikenakannya, malah membuatnya terlihat gelap. Menghisap rokok, mengeluarkan asapnya, mata memandang seakan hendak mengikuti kemana sirnanya sang asap.
Dulu Aku kenal baik dengan ibunya, pada usia yang hampir sama dengan anak perempuan ini. Sejak kecil sudah diajak Ibunya mengemis keliling kampung. Umur lima tahun mengemis di perempatan jalan. Umur delapan tahun, kabur dari ibunya, dan tinggal di los-los Pasar Johar. Pada tahun 1996 pertama kali aku bertemu ibunya. Mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh seorang kawan di halte bus depan Hotel Dibya Puri, Pasar Johar.
Ibunya buta huruf, tidak pernah bersekolah. Belajar membaca, tidak tuntas ia mengikutinya. Orangnya pendiam, tidak banyak bicara. Tapi bila ada pembicaraan diantara kawan-kawannya, pandangan matanya terlihat mendengarkan dengan seksama. Ia hanya memberi komentar-komentar pendek.
Pada tahun 2000-an, aku jarang bertemu dengannya. Kudengar dari seorang kawan, ia telah melahirkan seorang anak. Anaknya dimana dan siapa bapaknya, entahlah. Lalu kudengar lagi ia sudah memiliki pasangan tetap. Sekali aku bertemu dengannya, di dekat perempatan Jalan Pandanaran, tengah mengemis, dan terlihat sedang hamil tua. Kuduga inilah anak keduanya.
“Anaknya di mana, Ibunya entah di mana, Bapaknya juga gak tahu lagi,” komentar kawanku setengah berbisik padaku.
“Lah, Kusrini sekarang?”
“ya, enggak tahu, pindah-pindah terus. Anaknya juga pindah-pindah. Tidak menetap di emperan toko ini,”
Hujan mereda. Kami belum beranjak. Benarlah keputusan ini. Tak ada lima menit, hujan menderas kembali. Lebih deras dari sebelumnya.
Terpancar dalam benak, berbagai kenangan bersama anak-anak jalanan Semarang. Ketika aku membantu seorang kawan yang menjadi pelopor di kota ini untuk memberikan perhatian terhadap anak jalanan.
Winarso, itulah nama kawanku. Ia telah merintis mendampingi anak jalanan sejak akhir tahun 1993. Kebetulan aku mengikuti proses kegiatannya sejak awal. Setidaknya sebagai salah satu kawan diskusinya bila ke Yogya. Pada tahun 1996, barulah aku bergabung. Membantu dia, tinggal di Semarang bersama anak-anak jalanan dan membuat berbagai kegiatan.
Kami memusatkan kegiatan di sepanjang jalan Pemuda. Dari Pasar Johar hingga Taman Tugu Muda. Kegiatan dilakukan di halte bus depan hotel Dibya Puri, di halte Lawang Sewu, di los pasar Johar, dan di dalam Taman Tugu Muda sendiri.
Ketika mendapatkan dukungan dana, bersama anak-anak kami mencari tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bersama. Akhinry a rumah bisa didapatkan di Jln. Lemah Gempal. Kami mulai menempati rumah itu tanpa ada barang apapun. Pertama kali tidur di sana, kami mencari kardus-kardus sebagai alas tidur.
Beruntung, kami mendapatkan sumbangan kayu-kayu dan papan yang cukup banyak dari sebuah Yayasan di Semarang. Dari kayu ini, bersama anak-anak kami membuat dipan, membuat loker, rak buku, meja, dan sebagainya. Pribadi-pribadi juga banyak yang menyumbang seperti peralatan masak, bahan-bahan makanan, buku-buku dan sebagainya. Akhirnya rumah bukan hanya kumpulan orang-orang yang bisa tidur di sembarang tempat. Tapi sudah mulai tertata pula. Oh, ya, waktu itu, anak-anak menamakan kelompoknya “SEPATUMU” kependekan dari Serikat Pengamen Tugu Muda. Perkembangannya nama ini diprotes, karena yang bergabung dan berkegiatan bersama bukan hanya anak-anak Taman Tugu Muda saja, melainkan juga anak-anak dari berbagai lokasi di Semarang. Dalam pertemuan yang memang rutin dilakukan setiap seminggu sekali, akhirnya nama dirubah menjadi PAJS atau Paguyuban Anak Jalanan Semarang. Dua ratusan lebih anak jalanan tercatat sebagai anggotanya.
Namun, yang tidur di rumah ini hanya anak-anak yang berasal dari luar kota yang biasa tidur di sembarang tempat. Itupun, masih banyak yang menolak dan memilih tidur di Taman Tugu Muda. Perlu pendekatan terus menerus sehingga satu persatu mulai mau tinggal di rumah.
Namanya tinggal di rumah, apalagi di dalam kampung, dihuni oleh anak jalanan lagi. Tentulah banyak persoalan dengan tetangga. Tidak melakukan apapun sudah menjadi gunjingan, apalagi bila melihat tindakan dan kelakuan yang dianggap tidak berkenan. Wah.
Persoalan-persoalan inilah yang sering kami diskusikan bersama anak-anak. Berbagai aturan lahir dari proses diskusi. Mulai dari cara berjalan tidak menggesekkan alas dengan aspal, dilarang untuk bertelanjang dada ketika menyusuri jalan kampung, menghentikan kegiatan gaduh selepas jam 11 malam, dan sebagainya. Khusus untuk pulang, dibatasi jam 12. Bila malam minggu bisa sampai jam satu. Lewat dari jam tersebut, maka pintu akan dikunci. Siapapun yang membukakan pintu, akan kena hukuman juga. Hukumannya adalah mengambil alih seluruh pekerjaan yang terkena piket, dan membersihkan kamar mandi.
Aku dan Winarso secara sengaja melakukan pelanggaran. Kami pulang lewat jam 12 malam. Pintu dibukakan. Esoknya ada bisik-bisik di belakang. Kami meminta semua berkumpul. Kami akui bahwa kami bersalah dan akan menjalankan hukuman yang telah disepakati. Maka kami memasak air, membuatkan minuman untuk seluruh penghuni, mencuci gelas-gelas, menyapu dan mengepel lantai serta membersihkan kamar mandi.
(DUA
“Sudah berhenti. Benar-benar berhenti. Jalan lagi?”
ajakan dari kawan yang membuyarkan lamunanku. Ya, hujan benar-benar berhenti. Tak ada sisa dari langit. Cepat sekali. Kukenakan helm. Menunggu kawan memutar motor. Naik di boncengannya. Berpamitan pada anak-anak jalanan yang masih berada di emperan toko. Kami bergerak.
Menyusuri ke utara,melintasi Stasiun Poncol. Para PSK yang biasanya banyak berada di pinggiran jalan, sudah berubah modusnya. Mereka tidak berdiri menunggu lelaki menghampiri. Tapi telah bersiap di atas motor. Hujan, mungkin menyebabkan mereka enggan untuk bersapa dengan dingin malam. Terus ke Utara, sebelum perempatan. Warung-warung pinggir jalan menjadi ruang karaoke kelas bawah. Tidak seperti barisan sebelumnya yang menempati ruko-ruko.
Beruntung jalan tidak banjir. Biasanya, tidak hujan saja banjir. Rob. Masalah yang belum terpecahkan. Janji para walikota yang sudah berganti sama sekali belum terbukti.
“Ke kiri?”
“Terus saja,”
Ke kiri adalah pasar Johar. Kami terus melewati jembatan mberok. Bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda, sudah tampak. Inilah yang disebut kota lama. Kami mengambil jalan ke kiri menyusuri pinggirannya. Terus melaju di jalan utama, sampai di stasiun Tawang.
Banyak orang berpasangan duduk di kursi beton di pinggiran folder. Tempat untuk menampung air, sebagai buangan guna mencegah banjir yang parah. Tapi tampaknya juga tidak banyak berpengaruh. Lampu-lampu terang. Tidak temaran seperti dulu. Bahkan terlihat sebuah bangunan tua dijadikan sebagai hotel. Ah, di sini banyak PSK mangkal. Bermain dalam gedung-gedung tua tanpa cahaya. Penjual minuman pun tak terlihat. Apakah lantaran hujan deras tadi?
Kami belok ke kanan, menyusuri jalan di antara bangunan-bangunan tua. Tembus hingga sampai sisi Timur pasar Johar, melewati pom bensin, belok kekiri hingga perempatan, barulah berbelok ke kanan. Jalan satu arah.
Oh, ya sebelum lupa, satu kawan perjalanan, tadi telah berpamitan. Sehingga kami menyusuri jalan hanya berdua saja.
“Aku antar sampai terminal?”
“Gak usah, di Milo sajalah. Kalau memang benar bus tidak boleh masuk kota lagi, nanti masih ada angkutan ke Banyumanik kan?”
“24 jam,”
“Amanlah,”
Suara musik berdegam dari sebuah warung tenda. Gelak tawa laki-laki perempuan membelah dingin memecah kesunyian malam.
“Oh, ini mungkin yang dibilang café jalanan dokter Cipto. Lisa biasa nongkrong di situ,”
Lisa adalah anak jalanan perempuan.
Tiba di sebuah perempatan. Ke kiri ke arah purwodadi, ke kanan pastilah berjumpa dengan Simpang Lima. Aku minta diantar sampai ujung selepas perempatan. Di sinilah biasanya orang-orang yang akan ke Yogya atau ke Solo menunggu bus.
Sepanjang perjalanan tadi, kami sama sekali tidak melihat bus. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Mungkin sudah berkurang dengan rentang waktu setengah atau satu jam.
Aku bertanya kepada salah seorang pemilik warung.
“Wah, sudah tidak lewat sini lagi. Langsung masuk tol,” jawab ibu pemilik warung.
Wah, berari harus ke Banyumanik. Aku ucapkan terima kasih kepada kawanku. Ia pamit pulang, aku menunggu angkutan kota.
Hm, sudah lama aku tidak menggunakan perjalanan malam Semarang-Yogya atau sebaliknya. Dulu, aku selalu menggunakan waktu malam untuk perjalanan. Istirahat tidur di bus. Pagi sudah sampai, dan bisa berkegiatan lagi.
Ingatan kembali menerawang kepada masa silam. Masa tahun-tahun awal di Semarang. Seperti kusampaikan sebelumnya, aku tinggal bersama puluhan anak jalanan di satu rumah. Di sebuah kampung, dekat Taman Tugu Muda.
Menjadi kesepakatan, rumah itu diprioritaskan bagi anak-anak yang berasal dari luar kota saja. Bagi anak yang tempat tinggalnya di Semarang, kami semua saling mengingatkan agar bisa kembali tinggal bersama keluarganya. Beruntung kami bisa melibatkan sekitar enam orang dari komunitas jalanan, yang pada akhirnya banyak membantu kegiatan-kegiatan kami setiap harinya. Mereka bisa mengantarkan anak-anak untuk kembali menjenguk orangtua/keluarganya dan menjadi mediator agar keluarga bisa menerima anaknya untuk tinggal di rumah keluarga. Kami membangun keyakinan bahwa jalanan bukanlah tempat yang baik. Sehingga bila ada kesempatan untuk meninggalkannya, sesama anak jalanan bisa saling memotivasi.
Komunitas anak jalanan yang paling menonjol pada saat itu adalah anak-anak yang biasa mangkal di Taman Tugu Muda. Pada awalnya, tempat ini menjadi tempat peristirahatan bagi puluhan anak jalanan dari berbagai wilayah pad sore hingga malam.Tai kKemudian tempat ini berkembang dengan memanfaatkan traffick light untuk mendapatkan uang. Mengamen itu yang paling banyak dilakukan. Mengemis, bisa menjadi bahan ejekan bagi anak-anak jalanan lainnya. Sehingga hanya satu dua anak jalanan yang bertebal muka saja yang melakukan praktik mengemis.
Ya, pada masa-masa itu, kegiatan yang menonjol dilakukan oleh anak jalanan Semarang adalah mengamen, pedagang asongan, dan pemayeng (mengumpulkan bumbu, buah atau sayuran yang rusak atau terjatuh ketika bongkar muat) di pasar-pasar. Mengamen-pun ada tingkatannya. Bagi pemula, biasanya hanya mengamen ketika bus berhenti. Biasanya mereka menggunakan icik-icik. Tingkat lebih lanjut adalah menggunakan kentrung atau gitar. Mereka biasa menyanyikan tiga-lima lagu dalam perjalanan.
Sebagai tempat peristirahatan, awalnya dimulai oleh anak jalanan perempuan sekitar tahun 1995. Mereka beristirahat sebelum pulang ke rumahnya. Biasanya sudah berdatangan anak jalanan pada pukul 16.00 dan kembali kosong sekitar pukul 21.00. Namun di tahun 1996, dimulai oleh seseorang yang iseng mengamen di traffick light, ternyata hasilnya bisa lebih banyak dibandingkan mereka mengamen di bus kota. Aksi iseng ini kemudian menjalar dan terciptalah untuk pertama kalinya perempatan jalan di Semarang menjadi tempat kegiatan anak jalanan mencari uang. Memang lebih lambat dibandingkan kota-kota lain yang perempatan jalannya sudah menjadi tempat mangkal anak jalanan.
Berawal dari sini, mulai ada anak-anak yang menggunakan Taman Tugu Muda sebagai tempat tinggalnya. Mereka menyembunyikan barang-barang seperti pakaian di sela pepohonan yang rimbun pada masa itu, dan juga menggunakan ruang-ruang yang terlindungi oleh pepohonan untuk tidur. Dari jalan, tida akan tampak ada orang.
Oh, angkutan sudah datang. Tertunda lagi kenangan. Aku naik angkot warna merah jurusan Johar – Banyumanik. Waktu hampir jam 12 malam. Aku akan berhenti di Sukun, tempat pintu keluar dari jalan tol.
Yogyakarta, 14.01.11
TIGA
Enaknya di Semarang, angkutan bisa dikatakan 24 jam terus beroperasi.
Walau pada tengah malam tidak padat, tapi tetaplah ada. Angkutan yang aku tumpangi berisi 10 penumpang. Sebagian besar akan turun di Sukun atau Banyumanik. Mereka tentunya akan bepergian ke luar Semarang.
Udara dingin mencoba mencari celah menyapa tubuhku, melewati sela-sela jaket. Angin yang berhembus kencang berulang kali menampar-nampar wajah. Dingin.
Dingin. Ya, dingin sekali. Teringat kembali, ketika menghabiskan malam di Taman Tugu Muda. Selepas pukul 21.00, biasanya Taman ini mulai sepi. Anak-anak jalanan telah bergegas untuk kembali ke rumah masing-masing.
Pada saat pergantian hari, memang terasa sunyi. Sesekali kendaraan bermotor melintas. Di Taman itu, anak-anak yang berasal dari luar kota atau yang kabur dari rumahnya telah menyebar. Mencari tempat-tempat yang nyaman bagi mereka untuk beristirahat. Ada yang sudah berbaring di rerumputan, atau di pagar-pagar pembatas rimbun pepohonan. Ada pula yang masih ngobrol dengan rekannya, sambil memainkan kentrung, atau ada pula yang mencuci pakaian, yang kemudian akan dikeringkan melalui lampu-lampu sokle. Sebelum matahari menyengatkan panasnya, pakaian harus sudah dientaskan agar tidak terlihat orang-orang yang lalu lalang.
1996. Ah, sudah lama sekali. Tapi tampak baru saja berlalu. Menjelang akhir tahun 1996, seputar Taman ini telah menjadi salah satu lokasi mangkal anak jalanan terbesar di Semarang. Tempat untuk pertama kalinya, anak-anak hadir di perempatan jalan, di traffick-traffick light, mengetuk pintu hati para pengendara, dengan nyanyian-nyanyian yang tak tuntas sebagai satu lagu. Tapi bisa menghasilkan uang yang lebih besar dalam waktu singkat dibandingkan mengamen dalam bus-bus kota.
Taman ini, terletak di tempat strategis. Berbentuk lingkaran, berada di tengah jalan utama, bersimpang lima. Ke arah utara adalah jalan pemuda, merupakan jalan yang menjadi pusat pemerintahan kota Semarang. Ke arah Timur adalah jalan Pandanaran yang akan membawa kita menuju Simpang Lima yang menjadi landscape kota Semarang. Ke arah barat, adalah Jln. Soegijopranoto, jalan yang bisa kita lewati bila hendak menuju Bandara, Krapyak atau menuju ke Jakarta. Ke arah Barat Laut ada jalan Imam Bonjol, bila kita terus menyusuri jalan ini akan menuju Stasiun Poncol, stasiun untuk kereta-kereta kelas ekonomi. Sedangkan bagian selatan adalah Jln. Dr. Soetomo. Ke arah inilah bila kita hendak ke RSU Karyadi.
Di seputar Taman Tugu Muda banyak pula gedung-gedung bersejarah. Diantara jalan Imam Bonjol dan Jalan Pemuda ada sebuah bangunan yang kini menjadi kantor pemerintahan Kota Semarang. Pada tahun 90-an, gedung tersebut merupakan kantor Bank BDNI. Tepat di Barat Taman, ada Wisma Perdamaian yang menjadi rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah. Di sebelah Timur ada Gedung Lawang Sewu (pintu seribu) karena banyaknya pintu di gedung tersebut. Gedung yang beberapa kali menjadi tempat shooting untuk acara semacam “dunia lain”. Di bagian Barat Daya Taman, ada musem Manggala. Dan di bagian selatan ada Gereja Katedral.
Tugu Muda sendiri merupakan tugu yang dibangun untuk mengenang sejarah heroik yang dikenal dengan peristiwa ” Pertempuran Lima Hari di Semarang” . Pertempuran yang berlangsung pada tanggal 14-19 Oktober 1945 ini dipimpin oleh Gubernur Jawa Tengah untuk melawan batalyon Jepang pimpinan Mayor Kido. Sekitar 2,000 rakyat Semarang gugur dalam pertempuran tersebut. Tugu Muda diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953.
Aku masih ingat, menjelang akhir tahun 1996, ketika gedung Eks APDN mengalami renovasi dan akan diperuntukkan bagi Rumah Dinas Gubernur Jateng, Taman Tugu Muda juga ditata. Pohon-pohon rimbun ditebas sehingga segenap pandang bisa melihat seluruh ruang dalam Taman. Lampu-lampu diperbaiki sehingga Tugu Muda bisa terlihat gagah di malam hari.
Anak jalanan yang mulai marak dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat peristirahatan, sebagai tempat kegiatan mendapatkan uang, dan sebagai tempat untuk bermalam, turut ditata pula dengan riuhnya razia-razia di seputaran Taman Tugu Muda.
Dasar Anak Jalanan. Mereka memang kreatif untuk membuka ruang-ruang. Emperan gedung Lawang Sewu akhirnya dijadikan sasaran sebagai tempat tinggal mereka. Juga gedung-gedung kosong di sepanjang jalan Pemuda.
Ah, sudah sampai Sukun. Sudah banyak calon penumpang di sana. Ada sebuah bus mangkal. Jurusan ke Purwokerto. Aku turun, membayar ongkos yang lebih mahal dari biasanya. “Karena malam,” penjelasan dari sang sopir.
Beberapa truk terlihat parkir di sepanjang jalan ini. Melepas lelah, dan melakukan pengecekan serta perbaikan. Deretan taksi juga terlihat banyak, di kedua sisi jalan. Banyaknya calon penumpang yang berdiri, sekitar 20-an orang lebih, pastilah menunggu bus jurusan Solo. Semoga nanti bisa mendapatkan tempat duduk, bisa istirahat tidur dalam perjalanan.
Yogyakarta. 15.01.11
EMPAT
Menunggu memang menjemukan
. Bagaimana perasaan orang yang menunggu tanpa kepastian, kukira dirimu tentulah pernah mengalaminya. Jadi tak perlulah aku curhat padamu tentang kejenuhan ini.
Bus-bus yang lewat, adalah bus dari Jakarta atau dari Sumatra menuju kota Solo. Mereka tentunya tak mau berhenti di Sukun walau melihat banyak calon penumpang. Sudah 30-an orang kurasa. Bus jurusan Purwokerto, sudah beberapa yang mangkal di sini. Biasanya, bus Semarang-Solo jarak antara satu dengan yang lainnya tidaklah lama. Tapi, 20 menit berlalu, masih belum ada yang lewat. Bus jurusan Jogja? Ah, itu baru jam empat pagi nanti. Apalagi jalan di Muntilan, apakah sudah bisa digunakan atau belum, aku tidak lagi mengikuti beritanya.
Tapi enaknya sekarang, ada fasilitas yang dimiliki hampir semua orang. Fasilitas yang dulu merupakan barang mewah. HP... Ya, akhirnya kubuka HP. Memmbuka web, mengklik kompasiana. Terbatas memang, tapi setidaknya mengurangi kejenuhan menunggu. Ini juga membosankan. Aku tidak terbiasa membaca panjang lewat HP. Mataku sudah tak kuat dan sulit membaca huruf-huruf dengan font yang kecil. Segera kuhentikan. Memasukkan HP dalam saku jaket.
Angin malam masih saja menari-nari dengan bebas. Berlompatan diterjang truk-truk dan bus malam yang melaju kencang walau telah keluar dari jalan tol. Anginnya membawa dingin. Ini tidak biasa. Pengalamanku di Semarang, semalam apapun, biasanya hawa kota ini sangatlah panas dan menggerahkan. Ah, perubahan musim yang tak bisa ditebak, mungkin juga membawa perubahan di sini.
Di sebrang jalan ada warung angkringan. Hendak menikmati minuman panas, tapi aku meragu. Bila ke sana dan bus yang ditunggu lewat, maka setidaknya paling cepat 30 menit lagi baru menyusul bus berikutnya.
Di saat menunggu, kembali aku melanjutkan kenangan dalam jejak perjalanan bersama kehidupan anak jalanan yang pernah aku lewati secara intensif pada periode 1996-2001. Setelahnya, masih berhubungan walau tidak secara rutin datang ke Semarang.
Masih Taman Tugu Muda yang lekat dalam ingatan malam ini. Banyak kenangan tertoreh dengan anak-anak jalanan yang pernah mangkal di tempat ini. Kenangan kala senang maupun kala susah. Perjuangan panjang untuk melakukan perubahan secara bersama dengan berbagai dinamika yang getir, menggetarkan dan bisa pula mengerikan.
Seperti telah kuceritakan pada tulisan sebelumnya, kami telah memiliki rumah di sebuah perkampungan. Letaknya di pojok sendiri, sehingga ketika ingin masuk, harus melewati rumah-rumah penduduk. Perhitungan diriku dengan Winarso (kelak akan kutulis tentang dirinya), bila berada di kampung, setidaknya anak-anak akan dipaksa untuk beradaptasi dan bila bisa melekat, akan memudahkan mencari jalan agar bisa keluar dari dunia jalanan.
Di wajahku terbayang beberapa sosok anak-anak yang pada masa itu berada di Taman Tugu Muda. Ada Didit dan Budi, dua bersaudara. Tapi Budi lebih banyak melakukan kegiatan ke berbagai kota di kereta. Ada Kamiin yang berkulit hitam dengan rambut merahnya bukan karena di cat, tapi merah oleh sengatan matahari. Budi Boja, Surrahman, Ari, Agus, Wawan, Pithy, cemplon, Eko, Nurrohman, Dwi Bawen, dan sebagainya. Lantas sosok-sosok anak perempuan seperti Tina, Yuli, Watik, Khasanah, Umi, Siti, Ninik, Ayu, Reni, Atit, Pika, Murni, Ikhsan, Maria, dan, ah masih banyak lagi.
Tentunya mereka telah menjadi orang dewasa sekarang. Sebagian sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak. Ada yang masih bertahan di jalanan dan menurun kepada anak-anaknya, ada pula yang sudah memiliki pekerjaan di luar jalanan. Sebagian anak lelaki sudah ada yang tewas menjadi korban kehidupan jalanan yang ganas. Sebagian anak perempuan pernah menjadi korban perdagangan anak, berada dalam prostitusi, atau sekarang berkembang menjadi germo.
Pada tahun 1996-1997, kurasa tidak ada penguasaan-penguasaan wilayah oleh komunitas jalanan. Seluruh anak jalanan dapat berpindah-pindah tempat tanpa melahirkan keributan.
Sebagian besar anak jalanan di Semarang, keyakinanku pernah singgah di rumah kami. Baik diajak oleh kawannya hanya sekedar mampir, sesekali bermalam, atau mengikuti kegiatan-kegiatan atau bahkan pernah tinggal untuk beberapa lama. Anak-anak yang berasal dari Semarang, apalagi yang masih tinggal bersama orangtua/keluarganya, sangat dilarang keras bermalam di rumah ini, kecuali pada malam liburan dan seijin orangtua/keluarga mereka.
Suatu hari, aku dikejutkan oleh adanya anak perempuan yang bermalam di rumah ini. Bersama Wianrso dan anggota dewasa yang berperan sebagai pendamping, hal ini didiskusikan dengan serius. Berdasarkan kasus ini, baru terungkap banyak anak-anak jalanan perempuan yang tinggal di jalanan. Selama ini, yang banyak bersinggungan adalah anak-anak jalanan perempuan yang masih tinggal bersama keluarga mereka.
Membiarkan anak perempuan untuk tinggal di rumah tentu bisa membahayakan keberadaan rumah anak jalanan. Selama ini, telah terjadi perdebatan di masyarakat sendiri . Ada yang sama sekali tidak setuju dan berusaha mempengaruhi masyarakat untuk menolak keberadaan anak-anak jalanan di kampung mereka, namun beruntungnya ada pula yang melakukan pembelaan. Beruntung pula, ada diantara kami yang aktif mengikuti pertemuan-pertemuan kampung sehingga bisa langsung menjelaskan tentang tujuan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tentu juga menjelaskan tentang latar belakang kehidupan anak-anak tersebut.
Ada beberapa laternatif yang lahir. Membiarkan dulu sambil mencari tempat yang dimungkinkan bagi anak perempuan, memberi tempat di Gedung Lawang Sewu dan meminta anak-anak yang tinggal di sana untuk turut menjaga anak perempuan itu. Alternatid yang dipilih adalah yang pertama. Untuk ini, rekan Winarso akan memberitahu dan meminta ijin adanya anak perempuan untuk tinggal sementara.
Beberapa hari kemudian, ada kabar, salah seorang ibu dari anak jalanan menyatakan kesediaannya agar rumahnya ditempati oleh anak-anak jalanan perempuan. Ibu ini, yang memiliki tiga orang anak dan juga melakukan kegiatan di jalanan, kami kenal sebagai ibu yang aktif membantu anak-anak. Ia senantiasa hadir dan terlibat membantu ketika kami memiliki kegiatan. Ia tak segan berjalan kaki berkilometer ketika mengetahui ada seorang anak jalanan yang sakit di satu tempat atau tengah membutuhkan pertolongan. Ia dikenal dengan panggilan Bu Prapto. Nama suaminya. Nama aslinya sendiri adalah Sri Hartati. Tinggal di lereng bukit dekat Taman Tugu Muda, Kampung Gunung Brintik, bersebelahan dengan pemakaman Borgota. Ialah kelak dikenal sebagai ibu anak jalanan yang tidak hanya dikenal oleh anak-anak jalanan semarang saja tetapi juga anak-anak dari berbagai kota yang pernah singgah, bermalam dan merasakan keramahan dan ketulusan seorang ibu yang membawa pada kedamaian jiwa. Ah, semoga aku bisa menuliskan tentang profil Bu Prapto di Kompasiana ini.
Begitulah, masalah teratasi. Dua anak perempuan yang tinggal di rumah, bisa mendapat tempat yang lebih baik. Tapi dari sini, kemudian kami sepakat untuk mencermati keberadaan anak-anak jalanan perempuan yang tinggal di jalanan. Seluruh anak dikerahkan untuk memantau dan memberikan informasi ini.
“Solo, Solo, Solo..... Ya, yang ke Solo...” teriakan dari seorang timer membuyarkan lamunanku. Semua segera bergegas berdiri. Sebuah bus terlihat di tikungan, berjalan perlahan dan berhenti di tempat kami menunggu. Segera aku berlari, tidak mau kalah dengan calon penumpang lain guna mendapatkan kursi. Lha, kursi bus saja bisa melahirkan keributan, apalagi kursi di DPR sana ya.
Beruntung, bus tidak terlalu penuh, sehingga ketika puluhan penumpang masuk, masih tertampung di kursi-kursi yang tersedia. Huh. Aku melepaskan tas-ku, meletakkan di antara kedua kakiku. Tubuhku bersandar, memandang ke luar, bus-bus dan truk-truk angkutan barang yang masih saja banyak melintas.
Bus bergerak menuju Solo. Aku nanti akan turun di Kartosura, berpindah bus menuju Yogya.
Yogyakarta. 15.01.11
LIMA
Di tengah keremangan pergantian hari.
Malam kepulangan sudah memasuki hari Jum’at. Jum’at pahing. Aku duduk dekat jendela. Memang tidak bisa melihat pemandangan di luar. Tidak mengetahui bagaimana wajah Gunung Ungaran kala malam. Bus melaju kencang. Di beberapa tempat biasa orang menunggu bus, sang sopir akan memelankan lajunya.
”Solo, solo, solo” teriakan sang kernet.
Tidak banyak penumpang dalam bus ini. Artinya tidak ada yang berdiri. Biasanya, bus jurusan Solo, selalu penuh sesak. Orang-orang bergelantungan, menahan kantuk, menahan rasa pegal. Kini aku kira semua penumpang bisa menikmati perjalanan. Melelapkan dirinya.
Aku mencoba memejamkan mata. Masih saja lintasan kenangan tahun 90-an masih bermain dalam kepala.
Kekerasan. Itulah persoalan yang paling menonjol. Kekerasan terhadap anak jalanan! Kehadiran anak-anak jalanan terasa begitu mengejutkan Warga semarang juga pemerintah kota. Ini lantaran anak-anak hadir. Di ruang publik. Di tempat bersejarah. Di tempat pusat pemerintahan berlangsung. Landmark kota Semarang tercemar.
Hampir setiap hari ada kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan di Taman Tugu Muda. Dengan pelaku yang beragam. Dari aparat, preman, komunitas dewasa, pengendara, dan sebagainya. Intensitas kekerasan terlihat tinggi sekitar bulan November-Desember 1996. Bersamaan dengan proses renovasi eks Gedung APDN yang akan diperuntukkan bagi rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah.
Beberapa anak melaporkan ada pengendara motor yang tampak sengaja menabrak anak-anak yang tengah mengamen. Banyak orang-orang berkeliaran kala malam mengintimidasi anak-anak. Razia-razia sarat dengan nuansa kekerasan terhadap mereka kerap terjadi.
Banyak anak-anak yang menghindarkan diri dari Taman Tugu Muda, membentuk lokasi-lokasi mangkal baru. Seiring dengan itu, anak-anak dari stasiun Poncol juga mulai keluar dari stasiun dan mencari tempat mangkal di dalam kota. Sasarannya adalah traffick light-traffick light. Ya, pada periode itulah, ketika upaya menghentikan laju anak jalanan yang mulai mengisi ruang publik, justru pada saat itu pula terjadi persebaran dengan lahirnya lokasi-lokasi mangkal baru.
Pada saat itu, aku masih rajin mencatat kasus-kasus kekerasan yang terjadi, sehingga di akhir tahun 1996 bisa menyusun informasi mengenai kasus-kasus kekerasan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Bahan itu disebarkan ke masyarakat luas dalam perayaan tahun baru oleh Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS) dengan menggunakan aula sebuah sekolah dekat Taman Tugu Muda.
Tingginya kekerasan di jalanan, juga diikuti dengan adanya upaya-upaya dari beberapa orang untuk menggalang penolakan warga kampung terhadap keberadaan anak jalanan. Ini membuat para pendamping sedikit pusing, harus berpikir keras dan bersungguh-sungguh untuk melakukan upaya pengamanan. Beberapa orang ditugaskan untuk meningkatkan intensitas komunikasi dengan aparat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk share tentang berbagai kegiatan yang dilakukan. Seabgian lagi mulai menggalang relawan dengan menghubungi beberapa organisasi mahasiswa. Tidak ketinggalan pula membangun kontak dengan para jurnalis. Beruntung, ini bisa berjalan baik.
Beberapa pengurus organisasi mahasiswa khususnya dari PMII, GMNI dan PMKRI menurunkan beberapa anggotanya untuk terlibat membantu kegiatan anak jalanan. Ini juga memudahkan perekrutan mahasiswa dan relawan lain yang tidak bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Mereka bisa saling berinteraksi dan saling mendukung. Beberapa yang aktif membantu, sekedar menyebutkan beberapa nama dari banyak nama yang telah terlibat, seperti Abdul Kadir Kording (sekarang Ketua Komisi VIII DPR RI), Agung ”Ompong” yang pada pemilu lalu menjadi anggota Pengawas Pemilu Propinsi Jawa Tengah, Dian Indraswari (pernah aktif di ICW, ELSAM, dan entah sekarang aktif di mana), Bung Paul yang sekarang menjadi anggota KPU di Kabupaten Kebumen.
Beberapa jurnalis juga intens memberikan dukungan baik melalui penulisan-penulisan yang melihat dari sisi positif anak jalanan, memberikan rekomendasi untuk berhubungan dengan banyak pihak, menggalang bantuan berupa dana atau barang-barang atau kebutuhan lain bagi anak jalanan, memberikan kesempatan kepada beberapa anak jalanan untuk magang kerja. Komunikasi dengan kawan-kawan Jurnalis lebih banyak dilakukan oleh rekan Winarso. Sekedar menyebutkan nama, beberapa yang aktif memberikan dukungan yaitu Fikri Jukri, Timus Sinar Suprabana (penyair dan penulis lepas), Ganug Nugroho (Suara Merdeka, kini di Indosiar), Adhi Prasetio (Suara Merdeka, kalau tidak salah sekarang di Kompas) Diah Herawati (Suara Merdeka, entah sekarang dimana), Didi (RCTI), dan seorang wartawan Suara Karya yang sungguh saya lupa namanya. Selain itu, ada himpunan Jurnalis yang berhimpun dalam Yayasan Duta Awam, melakukan penelitian dengan melibatkan anak-anak jalanan sebagai enumeratornya. Ini tentu menjadi pengalaman menarik. Melalui merekalah, Ibu Walikota bisa didatangkan ke rumah PAJS. Kehadiran ibu Walikota membuat tingkat kekerasan di jalanan dan keriuhan untuk mengusir anak-anak jalanan dari kampung menjadi sangat berkurang.
Terima kasih tentulah patut diucapkan kepada mereka yang telah meluangkan waktunya untuk melihat dengan cara pandang yang berbeda terhadap anak jalanan dan membuka ruang bagi lahirnya ekspresi dan kreativitas anak jalanan.
Berbagai kegiatan PAJS sangat banyak menempati pemberitaan media. Dukungan-dukungan dari masyarakat sudah mulai tampak. Pada artikel dan surat pembaca misalnya, mereka mulai menyoroti kekerasan terhadap anak jalanan yang selayaknya tidak perlu dilakukan karena anak jalanan juga manusia. Anak jalanan adalah anak-anak kita.
Tanpa terasa, kantuk yang menyerang tak bisa tertahan. Tertidurlah aku dalam perjalanan. Sesekali terbangun dan melihat sudah sampai mana perjalanan ini. Menjelang Kartosuro, kernet berulang kali berteriak menyebutkan nama dan mengingatkan para penumpang yang hendak turun agar bersiap-siap. Ah... Waktu sudah menunjukkan pukul dua lebih.
Yogya. 15.01.11
ENAM
Terminal Bus Kartosura
, yang semula terletak di pinggiran jalan utama dekat persimpangan ke arah Solo, Yogya dan Semarang, kini telah pindah ke belakang Terminal. Terminal yang disekelilingnya masih lahan persawahan. Selepas malam, biasanya bus-bus antar kota tidak menyinggahinya, dan tetap melewati jalur lama. Bus berhenti dekat tugu di persimpangan tiga. Aku turun dan menyebrang jalan. Beberapa orang tampaknya juga akan mencari bus jurusan Jogja. DI sebrang sudah ada beberapa orang juga.
Pada saat secara rutin perjalanan Semarang-Yogya, aku memang memilih perjalanan malam. Sehingga dulu sangat hafal jam-jam bus datang dan tiba. Bila tiba di Kartosura sudah melewati jam 11 malam, jangan berharap akan ada bus yang akan berhenti. Kita hanya akan merasa jengkel bus-bus Surabaya-Jogja terus melintas tanpa ada yang mau di stop di depan terminal Kartosura. Bertahan menunggu, baru sekitar jam dua pagi kita bisa mendapatkan bus. Bus Jurusan Solo-Jogja yang pertama.
Lama-lama aku tahu, bahwa mereka tidak akan berani berhenti di sana. Berhenti bisa berarti akan memecah keributan dengan para timer dan para preman di sini. Ini jatah penumpang untuk bus Solo-Jogja trayek pertama. Bisa dibayangkan bila tiba jam sebelas malam, kita harus menunggu selama tiga jam?
Alternatifnya dari bocoran pemilik warung di depan terminal lama, kita jangan menunggu di tempat itu. Kita harus berjalan, menunggu di tikungan dekat Tugu. Artinya, di tempat aku menunggu bus sekarang ini. Itupun mereka hanya akan mengurangi laju, kita harus segera berlari, naik dan bus melaju cepat lagi. Bila di sini tidak bisa mendapatkan bus juga, maka kita harus berjalan lagi sekitar 500-an meter, ke arah jogja. Di sana ada lampu merah. Kita berharap ada keberuntungan saat bus datang, traffick light tengah menyala merah, sehingga kita bisa menaikinya.
Terminal lama Kartosuro tidak begitu luas. Memang tidak layak sebagai terminal bila mengikuti perkembangan jumlah arus kendaraan di jalan utama ini. Terminal yang kumuh, menjadi tempat persinggahan bagi para anak jalanan dari luar kota. Di sini bisa bebas melakukan kegiatan untuk mendapatkan uang. Berbeda dengan di terminal Solo yang tertutup bagi anak jalanan ataupun para pedagang asongan.
Bila siang hari, berhati-hatilah jika bus yang kau tumpangi padat dengan penumpang dan ada yang akan turun di terminal ini. Jagalah dompetmu. Lengah sedikit bisa dipastikan akan segera berpindah tangan. Aku pernah mengalami dua kali kecopetan di terminal Kartosura. Peristiwa yang memalukan. Tapi itu, dulu pada awal tahun 90-an. Setelahnya aman-aman saja. Setidaknya sudah kenal beberapa orang di sana.
Beberapa bus lewat, seperti kukatakan tadi, tidak ada satupun yang mau berhenti. Seorang timer bertubuh gemuk dengan jaket kulit hitam, sibuk mondar-mandir dan berulangkali menggunakan HP-nya.
”Pak, kok tidak ada yang mau berhenti ya,” seorang pemuda bertanya kepada pemilik warung rokok yang sedang berbenah untuk menutup kiosnya.
”Ya, kalau mau berhenti, di stop, toh, Mas...” katanya datar tanpa berpaling muka.
”Tidak ada yang mau,”
”Kalau tidak ada yang berhenti, ya nunggu bus bugel,”
”Maksudnya?”
”Bus yang jalannya lambar,”
He.h.e.he. tentulah yang dia maksud adalah bus jogja-Solo. Berjalan lambat, karena harus selalu mencari penumpang di sepanjang jalan. Sedangkan bus Surabaya-Jogja, akan melaju cepat, berhenti bila ada penumpang yang akan turun. Mereka tidak akan berani sengaja berhenti demi menaikkan penumpang. Beberapa kali pernah terjadi bus-bus jurusan Solo-Jogja melakukan aksi mogok lantaran bus Surabaya-Jogja mengambil penumpang juga. Tidak sekedar aksi, pengrusakan bus juga kerap terjadi.
Aku santai-santai saja. Sudah jam dua, bus pasti akan segera datang. Hanya calon penumpang yang sejak lama menunggu yang terlihat resah. Setengah tiga, baru bus datang. Semua segera berhambur. Aku santai saja, karena tahu, pasti bus tidaklah penuh.
Bus itu tidak segera berangkat. Menunggu penumpang yang datang. Pindahan dari bus Semarang-Solo. Sekitar 20 menit bus masih mangkal di tempat ini, tepat pada tikungan jalan.
Seperti biasa, aku selalu mencari tempat duduk di dekat jendela. Bila tertidur, tidak akan terganggu.
Kembali aku resah, teringat wajah beberapa kawan, yang pernah aku kemukakan di awal-awal tulisan. Wajah-wajah kawan yang telah pergi mendahului dengan cara yang tragis.
Pertama adalah sosok yang kami kenal dengan nama Agus Komo. Nama aslinya tidak ada yang tahu, dan juga tidak akan ada yang mempersoalkan. Di dunia jalanan, rata-rata orang sudah menggunakan nama yang bukan sebenarnya. Bisa menggunakan nama palsu yang digunakan ketika memperkenalkan diri, atau nama julukan yang diberikan oleh kawan-kawannya.
Agus Komo bertubuh gemuk dan pendek. Rambutnya tidak beraturan. Ia tidak tinggal di rumah anak jalanan, tapi sering datang. Bila datang, selalu dalam kondisi keringat membanjiri tubuhnya. Ini lantaran ia terbiasa berjalan cepat. Sama sekali tidak menikmati perjalanannya. Saya agak lupa apakah di akhir tahun 1996 atau di awal tahun 1997, ada kabar ia tewas. Tewas dibakar sekelompok orang ketika tengah tertidur di los pasar Johar. Kabar kematiannya tidak muncul di media massa. Kasus itu hanya diketahui oleh orang-orang malam saja dan menyebar dari mulut ke mulut.
Ah, peristiwa semacam ini, tewasnya seorang anak/komunitas jalanan, seolah menjadi hal yang biasa terjadi. Aku sering mendengar kabar tentang tewasnya seseorang yang tergeletak di pinggiran jalan, dibuang ke sungai, atau ditinggalkan begitu saja di tempat sepi. Mengerikan memang.
Pada masa-masa itu, terdengar juga kabar tewasnya anak-anak jalanan di berbagai kota, seperti Medan, Jogjakarta, dan Jakarta. Tewas bukan lantaran perkelahian dengan sesama anak jalanan, tapi dengan pihak lain.
Itulah dunia jalanan. Dunia yang sangat keras untuk dijalani oleh siapapun. Bisa kita bayangkan bagaimana anak-anak harus menjalani kehidupan semacam itu.
Hadir juga sosok seorang anak, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dengan rambutnya yang keriting. Ia mengaku dilahirkan di papua. Bapaknya seorang tentara yang pernah bertugas di Papua. Kalau tidak salah keluarganya tinggal di wilayah Kendal. Ia kabur dan memilih hidup di jalanan. Ketika bergabung dengan PAJS, kami pernah menghantarkan ia pulang. Selanjutnya, beberapa kali ia sempat pulang bertemu keluarganya.
Ia orang yang dikenal cepat naik darah bila ada kawannya mendapatkan perlakuan buruk. Ia senang berkelahi, tapi penyebabnya bukan selisih paham antara dia dengan orang lain, melainkan karena membantu kawannya. Ia termasuk salah satu anak yang ditakuti oleh banyak anak jalanan di Semarang. Pertemuan terakhir dengannya kalau tidak salah pada tahun 1998-1999. Setelahnya tidak pernah bertemu lagi. Kabar yang kuterima, ia menjadi salah satu preman di salah satu pasar. Pada tahun 2000-an, dari kabar kawan-kawan dan juga dari pemberitaan media massa, ia tewas dikeroyok sekitar lima orang. Awalnya ia diajak minum-minuman keras, dan setelah mabuk langsung dihujanji berbagai senjata tajam. Ia sempat melakukan perlawanan, namun tetap kalah. Wajahnya sangat membekas. Ia adalah anak yang sering kami ajak diskusi untuk turut menjaga anak-anak yang lebih kecil di jalanan.
Kabar duka yang menyusul kemudian adalah sosok lain yang saya kenal sangat pendiam. Orang yang jarang sekali berbicara baik ketika kumpul-kumpul secara informal ataupun dalam pertemuan-pertemuan. Kami yang berulang kali mencoba memberi kesempatan baginya untuk berbicara, sering mengalami kegagalan. Namun ia sangat rajin bekerja membersihkan rumah. Kabar terakhir ia menjadi salah seorang preman yang ditakuti. Ini membuatku terkejut. ”Masak sih?”
”Benar... orangnya dikenal sangat kejam, gak banyak bicara, langsung sikat,” tutur seorang anak jalanan jauh sebelum kematiannya.
Ya, ia tewas, di los pasar lantai dua. Ketika terlelap tidur, seseorang menikamnya berulang-ulang. Entah siapa pelakunya, tidak ada yang mau membicarakannya.
Ah, kematian memang misteri. Kita tidak akan pernah tahu kapan akan pulang. Saya yakin semua berharap bisa pulang dengan tenang dan dalam situasi yang baik. Di jalanan, semua kemungkinan selalu saja bisa terjadi tanpa bisa diduga.
Ah, mereka tetaplah adik-adikku. Tetap sahabatku yang pernah mengarungi hidup bersama. Doaku untuk mereka, semoga ketenangan di alam keabadian tetap mereka peroleh.
Bus telah tiba di terminal Giwangan. Kepada kernet aku minta turun di pintu masuk. Turun, tidak menolak ketika seorang tukang ojek menawarkan diri. Tidak sampai 15 menit aku sudah berhenti di depan rumah. Mengetuk pintu, istriku segera membukakannya. Tak lama kemudian, adzan Subuh telah terdengar.
Yogya. 16.01.11
Tag der Veröffentlichung: 06.01.2013
Alle Rechte vorbehalten