Perlahan tapi pasti, bahkan kadang agak lama tak ada hentakan jari di keyboard laptop tua Sampurna. Berulang kali ia berusaha menyelesaikan puisi itu, tapi sudah lama tak juga kunjung selesai. Sampurna benar-benar hampir putus asa, setiap kali ia berusaha, rasa bimbang itu tiba-tiba menyergap bagai seekor singa liar yang kelaparan, tak mampu ia menghindarinya. Bimbang...ya....selalu bimbang..!!
Andai aku bukan aku,
akan kuminta angin menerbangkan rinduku kepadamu,
dan akan kubiarkan angan liarku menyusuri setiap relung hatimu,
lalu akan kulukiskan mahligai yang kau impikan,
dan membingkainya dengan cintaku.
Andai aku bukan aku,
akan kunyalakan lilin yang lama kusimpan di balik mendung gulita,
dan akan kuberikan selendang merah jambu ini,
untuk menghias binar-binar cahaya cinta,
lalu akan kusaksikan ujungnya menari,
mengikuti gemulai nyanyian cinta yang mengiringi tarianmu.
Dan andai aku bukan aku,
pasti telah kurengkuh tubuhmu dalam dekapan cintaku.
Dengan menghimpun segenap rasa keberaniannya, akhirnya berhasil juga ia selesaikan puisi itu, puisi sejuta bimbang akan ketakutannya menghadapi kehilangan cinta seseorang yang mengaku bernama Fitri. Celakanya, keberanian itu belum cukup membuat Sampurna memutuskan untuk menyampaikannya pada Fitri.
Sampurno masih memandangi bulan separo yang muncul di balik rimbunan pohon bambu yang tepat menghadap ke kamarnya. Lelaki itu tak sadar rintik hujan telah memperindah lamunannya tentang Fitri, seorang gadis yang dikenalnya lewat facebook. Laptopnya masih menyala, tapi Sampurno masih saja memandang bulan. Entah apa yang direnungkannya. Tak lama pandangannya berpindah ke layar laptopnya. Menatap penuh ragu sejenak lalu diputuskannya untuk membalas kalimat Fitri.
"Sam. Kau masih di sana? Ya sudahlah kalau kau lelah karena kerja seharian. Selamat tidur sayang", pertanyaan dikotak percakapan itu masih menunggu jawaban Sampurno
"Ah.... Maaf Fit !, kau telah agak lama menungguku", akhirnya ditulis juga jawaban untuk Fitri
"Walah, belum tidur tho? Dari mana aja sih?"
"Sekali lagi maaf ya, padahal aku tadi sudah lari kencang Fit."
"Lari? Emangnya kenapa? Ada apa?"
"Rokokku habis, jarak dari rumah ke warung rokok lumayan jauh juga, sekitar dua ratus meter, belum lagi aku harus naik ke teras atas, tempat favoritku mencumbu kamu."
"Ah, kamu Sam. Berarti nafasmu sedang ngos-ngosan dong ini, hahahaha,,,"
"Kamu lupa Fit, aku kan atlit, kalau cuma lari segitu, buat aku seperti melompat got kecil, apalagi aku tahu kamu sedang menungguku."
Keduanya mencoba menyenangkan dan membuat gembira hati satu sama lain. Keheningan malam dan tiupan dedaunan mencatat perjalanan layar penuh cinta pada laptop Sampurno. Dan Sampurno tak hendak segera mengakhiri itu semua.
Kamar Sampurno menghadap rindang kebun bambu. Sudah sejak awal dibangunnya rumah itu, Sampurno memilih sendiri disain, tata ruang dan letak kamarnya di lantai atas. Dia inginkan kamarnya, meski tidak luas, tapi ada teras sendiri agar ia mudah untuk menikmati alam di sekitar rumahnya, ia ingin selalu menikmati berada di tengah alam seperti yang dulu selalu ia lakukan. Air hujan dan guguran daun bambu sering akrab singgah di teras kamar Sampurno, dan seringkali ia melarang Cak Su, tukang kebun keluarganya untuk membersihkannya
Di situlah, di teras kamarnya, ditemani semilir bambu dan sinar bulan separo, dia menghabiskan malamnya bersama Fitri dan Fitri Fitri sebelumnya, mencoba menghidupkan dan meniti harinya yang hampir tak bermakna lagi bagi kedalaman hatinya.
Larasati, janda tua Sumaryono yang pengusaha kayu jati paling sukses di desa mereka, kini dan selalu hanya bisa berdiri terpaku di pintu kamar Sampurno, diam-diam memandang putranya dengan pandangan layu dan hati perih. Entah sampai kapan putra tercintanya itu hidup dalam alam mimpinya, ingin diajaknya putranya itu untuk segera menyudahi mimpinya, kembali ke alam nyata meski dengan segala keterbatasannya, namun Larasati tak cukup keberanian untuk memberikan pilihan lain bagi kegembiraan putranya.
Malam itu, Larasati sedang berusaha mendekati hati Sampurna. Diambilnya kursi kecil, dan duduk menikmati segarnya alam malam yang sesore tadi habis menumpahkan hujannya.
"Sudahlah Sam, kenapa kau selalu harus menyiksa hatimu dengan bualan-bualan yang tidak seharusnya seperti ini?" gumam Larasati lirih.
Larasati memperhatikan laptop yang masih menyala ditinggal Sampurno mimpi bercinta. Larasati baru sadar, rupanya Sampurna tertidur dengan laptop yang masih menyala di hadapannya. Dia sudah tak memiliki airmata lagi untuk kesedihan yang setiap malam disuguhkan Sampurno padanya, selalu dan selalu begitu setiap malam.
"Ya, Allah...berikanlah petunjuk untuk anakku Sampurna, agar ia menyadari keadaannya dan berikanlah ia kekuatan untuk bangkit kembali menghadapi kehidupan nyatanya", di setiap sujudnya, di setiap malam Sampurna terlelap, tak henti-hentinya Larasati berdo'a.
Perlahan diambilnya laptop di pangkuan Sampurno dan sebelum dimatikan masih sempat Larasati menengok kotak percakapan di facebook anaknya.
"Ah, lagi-lagi perempuan itu, Fitri, tapi semoga keduanya di beri kebahagiaan", lalu mendorong kursi roda Sampurno menuju pembaringan.
"Ibu, apakah Fitri masih akan mencintaiku?" tanya Sampurno dalam separo mimpinya, menanyakan keraguannya pada Ibunya.
"Tentu sayang", jawab Larasati sambil membetulkan posisi tidur anaknya, "Ah, andai aku bisa nak !, akan kuhadirkan bidadari cintamu sekarang juga", gumamnya kemudian seperti yang sudah-sudah dan selalu ia lakukan.
Pada setiap tidur dan di awal mimpinya, Sampurno selalu bertanya pada Ibunya tentang cinta yang sedang ingin dimilikinya. Tentang ketakutan dan kekawatirannya bahwa dia akan segera kehilangan cinta itu. Pada setiap malam pula Larasati membuat Sampurno yakin bahwa cintanya tak akan hilang. Walau dia sendiri tak yakin.
------------
Satu bulan berlalu setelah ketakutan Sampurno jika Fitri tak mencintainya lagi.
Sampurno terkulai lemas, tapi masih sanggup memindahkan laptop tuanya ke meja setelah lama berada di pangkuannya. Hati-hati dia meletakkannya, tak ingin kotak percakapan di layar dengan kekasihnya Fitri jadi hilang. Sampurno masih ingin membacanya dan terus membacanya. Untuk memastikan bahwa percakapan itu adalah nyata.
Sebentar lalu, mereka baru saja berbincang di facebook, bercanda seperti biasa, menuangkan kata cinta yang tak pernah habis dan usang untuk diungkapkan. Namun tiba-tiba Sampurno tercenung melihat daun bambu yang sedang menari tertiup angin malam, sambil sesekali nampak sinar bulan memantul mengiringi tarian itu. Satu helai daun melayang dan jatuh di atas keyboard laptopnya dan perhatiannya pada percakapan facebook-nya dengan Fitri jadi terlupakan sejenak.
Lama Sampurno menikmati tarian-tarian lain daun bambu yang menebar hingga sebagian jatuh di dekatnya, di teras kamarnya yang menghadap hutan bambu. Dan ketika tersadar, tampak di kotak percakapan Fitri berulang kali memanggilnya. Diliriknya lead indikator online Fitri.
"Ah, masih menyala," bisiknya.
Segera Sampurno menulis balasan, tentu setelah didahului kata maaf. Tak ingin dilewatkannya malam itu tanpa Fitri.
"Fit, tunggu aku di gmail ya?"
"Kenapa Sam?"
"Aku ingin menulis sesuatu untukmu."
"Baiklah, tapi jangan lama-lama ya?"
"Iya, paling satu atau dua jam saja."
"Terlalu lama Sam."
"Baiklah, kalau begitu satu jam lagi kita bertemu di gmail".
Setengah jam kemudian,
"Sam, sudah selesai belum?" tanya Fitri ketika dilihatnya lead indikator gmail Sampurno menyala.
"Ah, keburu banget sih kamu Fit ?, sudah tidak sabar ya? kebetulan sekali aku juga sudah mau tekan send, tunggulah beberapa detik lagi."
Sampurno menekan tombol send dengan senyum dan dada berdebar. Dibacanya ulang tulisan yang dikirimnya untuk memastikan isi hatinya sudah tercurah di sana dengan baik. Lalu menunggu.
Sang Kekasih
Heningnya ruangan ini kunikmati dengan seksama,
saat rindu dan cinta semakin kejam menerkam hati kian sepi,
menatap kelam di ujung malam tanpa seraut pun wajah cinta menyapa.
Ribuan hati menyapaku menawarkan madunya,
namun tak ada satu pun wajah yang ku cari di antara mereka,
di mana ku ingin meletakkan lelahku sejenak di dadanya.
Ketika baru kusadari kau ada pada setiap tangisku,
tawarkan canda hingga lelahku hilang sejenak,
dan kau selalu ada walau tak pernah ada,
sudah cukup mewarnai hitam ini,
bahkan kini menggenggam hatiku,
'tuk tak perlu beranjak menjauh darimu.
"Sudah kau terima Fit?"
"Iya, ini aku sedang baca"
Berdebar Sampurno menunggu, namun ia tidak perlu menunggu lama. Hanya dalam hitungan detik, kotak percakapan gmail Sampurno sudah menyala berkedip tanda Fitri telah mengirimkan balasannya.
"Indah sekali puisimu Sam"
"Benarkah?"
"Iya..!"
"Lantas?"
Sebentar kursor tidak bergerak, Fitri sedang berpikir keras, jawaban apa yang paling tepat untuk Sampurno. Digigitnya kuku jemarinya mencari kalimat terindah yang bisa dia berikan untuk Sampurno, yang tentu sedang tak sabar menunggu jawabannya. Perhatiannya terpecah oleh ketukan di pintu beberapa kali.
"Iya Bu, sebentar, Fitri masih merapikan rambut" , jawab Fitri dengan gusar mendengar ketiga kalinya ketukan Ibunya di pintu kamar.
"Aku ingin kau memelukku dengan cintamu Sam", akhirnya Fitri berhasil menulis jawaban.
Lalu dengan tersenyum segera berlari menuju ruang tamu, menemui Prasojo, Sam lain penghuni hatinya.
Ditebarnya senyum gembira yang seharusnya milik Sampurno untuk Prasojo. Dengan ringan disambutnya lelaki yang sudah duduk menunggunya di ruang tamunya. Semua terlihat wajar. Sejenak disingkirkannya dari ingatannya, Sampurno dan puisi yang baru saja dibacanya di layar monitor.
Sementara Sampurno berteriak kegirangan. Dia letakkan laptop tuanya di meja di sampingnya dan ia gerakkan kedua tangannya seperti daun bambu yang terbang tertiup angin. Didengarkannya irama hatinya tak ingin sejenak pun berhenti. Menepis kesadaran bahwa itu hanya ilusi dan mimpi. Menepis kenyataan bahwa dirinya tak dapat lagi berdiri dan menari dengan tegap di hadapan Fitri dan Fitri Fitri yang lain. Menepis juga kenyataan bahwa dirinya bukan lelaki perkasa yang selalu ditulisnya dalam perbincangan semu pada layar monitornya dengan Fitri. Hatinya terlalu gembira untuk mengingat itu semua. Hatinya terlalu melambung hingga lupa kapan harus kembali.
"Biarkan aku menari di depanmu Fitri. Ingin kurengkuh dirimu dalam pelukan cintaku, seperti yang kau inginkan."
Suara berderit hampir tiada henti dari kursi roda putranya membuat Larasati segera berlari menaiki tangga ke kamar Sampurno. Perempuan itu mempercepat langkahnya di depan pintu kamar Sampurno, kawatir terjadi apa-apa dengan putra semata wayang, yang telah menghabiskan hari-harinya di atas kursi roda.
Kaki Sampurno lumpuh setelah kecelakaan lima tahun yang lalu, yang juga telah merenggut nyawa kekasihnya Arini. Sejak saat itu Sampurno lebih banyak berdiam diri di singgasananya di depan pepohonan bambu di lantai atas rumahnya. Merangkai mimpi dan ilusi bersama laptop tuanya.
Larasati sempat terpesona oleh binar cinta di wajah dan mata putranya, namun kembali airmatanya berlinang, menggenangi pipinya yang mulai keriput. Dibiarkannya sejenak sampai Sampurno mulai lelah dengan tariannya, Larasati mendekat dilihatnya Sampurno seperti kelelahan setelah mendendangkan tarian cinta, ya...tarian cinta terakhir Sampurno.
"Waktumu istirahat Nak, biarkan cinta itu menemani mimpimu malam ini"
Tidak seperti biasa, tidak ada jawaban dari Sampurno, meskipun hanya menggumam. Larasati melirik rona cinta yang masih lekat di wajah Sampurno, tak tega ia menghardiknya, tapi dipandanginya wajah anaknya, dan tiba-tiba jantung Larasati berdegub kencang, tiba-tiba ia teringat almarhum suaminya, dan tiba-tiba ia ingin menangis, tangannya amat berat untuk sekedar ingin menyentuh wajah anaknya.
Dan ketika Larasati terbangun, disekelilingnya sudah banyak ibu-ibu tetangganya berkerumun, dan terdengar pula olehnya gema tahlil dari ruang tengah, di dekat ia terbaring saat ini, dan Larasati kembali merasakan gelap.
-----------
Cak Su berbisik padaku, dan kami segera beranjak menuju kamar Sampurno. Aku lihat laptop masih menyala, screen server tarian daun bambu masih menghiasinya, aku tekan sembarang tombol, keluar halaman status facebook Sampurno, di sana tertulis,
mestinya ini sudah kusampaikan padamu sebulan lalu Fit :
Andai aku bukan aku,
akan kuminta angin menerbangkan rinduku kepadamu,
dan akan kubiarkan angan liarku menyusuri setiap relung hatimu,
lalu akan kulukiskan mahligai yang kau impikan,
dan membingkainya dengan cintaku.
Andai aku bukan aku,
akan kunyalakan lilin yang lama kusimpan di balik mendung gulita,
dan akan kuberikan selendang merah jambu ini,
untuk menghias binar-binar cahaya cinta,
lalu akan kusaksikan ujungnya menari,
mengikuti gemulai nyanyian cinta yang mengiringi tarianmu.
Dan andai aku bukan aku,
pasti telah kurengkuh tubuhmu dalam dekapan cintaku.
Nampak di situ, status terkirim pkl. 00.10. Dan di status sebelumnya, pkl. 00.07, tertulis
Fit...!! peluklah ragaku yang dingin dalam balutan kafan
Belum satu pun komentar, aku klik log out, ku buka facebook-ku, aku klik profil Sampurno, dan kutulis di statusnya,
Innalillahi Wainailllahi Rojiun...!!! selamat jalan sahabatku, semoga kau bawa cintamu hingga kau temukan surga tempatmu memadu cinta.
____________________________________________________
Tag der Veröffentlichung: 14.04.2011
Alle Rechte vorbehalten