Cover

Masa lalu saya tidak keren

!”
[kutipan dari seorang Paman Gila nan inspiratif]


Karena masa lalu saya sama sekali tidak keren, saya ingin mencatatnya.

Sungguh ini bukan karena hampir dapat dipastikan tak akan ada biografi yang menulis tentang saya. Cuma karena di setimbun yang tidak keren, masih terdapat keping yang layak saya kenang.

Apa yang tercatat di sini hanyalah sebagian dari kumpulan kisah tak keren (dan tak penting) penulis.

Syam Asinar Radjam




#01. NASIB TAMPANG KRIMINAL



Bila saya diizinkan mengutuk --terkait ketidakkerenan masa lalu dalam ceceran omongkosong kali ini--, maka yang ada hanyalah kebingungan. Apa atau siapa yang harus terkutuki; tampang saya nan kriminalis, kesialan nasib, atau Tuhan yang selalu tergoda untuk menjahili saya?

Kisah 1: Disangka copet!



Pengujung masa sekolah SMA. Sepulang studi-tour dari Krakatau Steel, Cilegon. Di tengah Selat Sunda, di atas Ferry, pucuk senja. Kebetulan di dek kapal berkumpul orang untuk berjamaah menyambut magrib.

Entah apa yang menggoda saya untuk shalat?!

Dalam rangka mengambil tempat sebagai jemaah, saya menyenggol punggung seseorang lelaki paruh baya. Setengah panik dia langung menoleh dan menuduh saya hendak mencopet dompetnya.

Saya gelagapan dituduh begitu. Tapi, tinjunya terlalu cepat menyusul tuduhan dari mulutnya, menghantam tipis pelipis saya.

Saya tertegun. Tidak membalas. Mungkin kaget, tapi lebih mungkin saya takut karena badannya dua kali lipat badan saya. Saya tidak sering berantem memang. Hanya beberapa kali sedari kecil hingga SMA. Tapi selalu mirip kalah.

Senja itu saya kira saya sempat menertawai kejahilan Tuhan. Apa saya kualat gara-gara ingin shalat?

Rasanya saya segera shalat. Karena katanya shalat mencegah perbuatan munkar. Tapi shalat saya cepat. Tak ikut imam.

Begitu sadar, di belakang saya sudah ada Dedi Umar, Sirez, Adi baok, Nangyu, Opin Ucamp dan lain-lain mungkin. Tak ingat semua. Mereka adalah para sahabat saya yang lebih suka berkelahi ketimbang makan. Rupanya sempat menyaksikan jap si merasa tercopet ke pelipis saya.

Setelah menanyai musabab tinju yang saya terima, tanpa ba-bi-bu, begitu sang petinju selesai mengucap dua salam, berdiri, dan membalikkan badan, dedi melompat. Mengantarkan tinjunya ke muka si penuduh. Disusul tinju teman-teman lain. Chaos! Si penuduh copet babakbelur.

Untungnya beberapa guru kemudian mengambil inisiatif menyelesaikan kasus pemukulan ini.

Orang yang menuduh saya pencopet mengaku terbebani pikiran. Dia dalam perjalanan pulang kampung karena orangtuanya sakit keras. Sementara itu dia hanya punya uang pas ongkos saja.

* * *

Kisah 2: Dikira pengedar



Satu semester setelah saya melangsungkan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Seorang teman, adik tingkat, berKKN di desa tetangga tempat saya berKKN. Sebuah tepi hilir sungai Ogan.

“Namamu, mirip legenda!” puji teman saya. “Bahkan sampai desa tempat saya KKN.”

Saya mirip curiga dengan pujian itu.

Pekerjaan saya selama KKN cuma mengajari anak-anak membuat topeng, itu pun dengan bantuan seorang kawan. Jajang R Kawentar, seorang perupa. Seniman yang saya kagumi.

Selain itu saya cuma mengumpulkan anak-anak bermain-main di acara yang saya sebut “Bocah Pesta Panen”.

Karena curiga, tak ingin saya kejar apa maksud yang tersampaikan teman saya. Tapi dia menambahkan sendiri.

“Mereka bilang, dulu ada mahasiswa KKN yang mengedarkan ganja. Anak Pertanian juga. Gondrong, kurus. Namanya, Chandot!”

Sial! Chandot adalah salah satu nama panggilan saya!

Setahu saya memang ada keramaian pengguna ganja pada masa itu. Tapi siapa yang membawa dan menyebarkannya, saya tidak tahu dan tidak pula jadi urusan saya.

***

Kisah 3 dan seterusnya…



Kisah masa lalu yang tak keren terkait tudingan lucu-lucu, mungkin karena tampang kriminal yang melekati kulit muka saya, masih ada beberapa. Hanya, bila diteruskan pada catatan kali ini, ia hanya memperpanjang-lebar cerita.

Sudahlah… terlalu panjang, kasihan Ibu-Ibu. Terlalu lebar, kasihan Bapak-Bapak.###

#02. BALADA BAKAT KRIMINAL



Memang catatan kali ini ada pada urutan setelah Gara-Gara Tampang Kriminal, tapi sama sekali bukan sebuah sekuel! Sumpah! Ha ha



Boleh saja abang saya sekarang mengelola sebuah Pesantren, dan saya mengklaim sebagai “orang baik-baik” dari sekumpulan “orang-orang baik”. Tapi kami melalui masa kecil seperti sebuah seri kartun di tv; Victor and Hugo, Bunglers in Crime.

Lik Siam, pernah mencak-mencak! Ayamnya hilang. Pelakunya, hi hi

… abang saya. Saya sih cuma membantu. Ayam itu tidak hilang sebenarnya. Tapi masuk perut kami setelah melalui proses cukup mendebarkan.

Tapi kami tetap dianggap anak baik-baik. Dalam mencak-mencaknya, Lik Siam kami dengar bilang, “… dak mungkin kalo anak-anak Mang Ciklan yang maling ayamku

.”

Bunyi Ciklan itu sebenarnya tertulis Cek Lan. Itu nama generik bapak kami.

Lebih lanjut, Lik Siam menyumpah-nyumpah. “Ini pasti gawe anak Lik Gun

!”

Nah

, yang kena sepupu kami. Jenat

. Bakat kriminalnya lebih kentara dan terakhir memang teraktualisasi lebih baik. Anak seorang paman kami.

* * *

Saya dan abang saya juga tak kuat iman melihat rambutan di kebun Lik Timan. Oh, ya… kami familier dengan sebutan Lik, cara gampang menyebut paklik alias “bapak cilik” yang bersepadan dengan paman atau om, karena kami bertetangga dengan banyak orang Jawa.

Kembali ke ritual peristiwa pencurian rambutan Lik Timan. Ini bukan lagi peristiwa biasa, melainkan mirip ritual, karena kerap. Sekali lagi yang nyuri, abang saya! Saya cuma bantu-bantu.

Pembagian perannya adalah, abang saya yang memanjat, saya yang menjaga di bawah. Tugas utama saya adalah mengumpulkan rambutan yang jatuh sekaligus memantau situasi. Bila ada orang, apa lagi si empunya pohon, saya harus memberi tahu yang di atas (pohon).

Aksi panen rambutan ilegal itu berakhir karena sebuah peristiwa. Saya tak ingat persis. Tapi singkatnya, pemilik sah rambutan datang, dan saya tak sempat memberi isyarat. Untung masih sempat lari.

Sementara abang saya masih di atas pohon dengan mulut penuh rambutan.

Saya dengar teriakan, bahasa Palembang logat Jawa, “eiii… Siapo itu

?!!!”

Itu, Lik Timan!

Saya dengar abang saya menyahut malu, “nyicip, Lik

.”

Sejak itu rambutan Lik Timan kehilangan penggemar illegal. Kami tak sudi lagi melakukan perbuatan memalukan itu. Perbuatan memalukan lain, jalan terus…

* * *

Panen ilegal di kebun orang kadang saya lakukan tanpa partner. Mending begitu, ketimbang jadi tokoh pembantu. Saya suka menggondol ubi kayu alias singkong milik Lik Darto. Kebunnya hanya terpisahkan oleh kawat berduri dengan halaman rumah kami.

Tapi saya tobat sejak satu peristiwa. Karena biasanya untuk menyeberang ke kebunnya, saya tiarap model pasukan berani mati di film-film perang, satu pantat tepos saya tersangkut kawat.

Luka tapi tak parah. Cuman meninggalkan cacat. Di pantat saya ada bekas gurat yang tidak seksi. Garis dan titik. Mirip tanda seru!

Tentang luka ini, rasanya ini pertama kalinya saya buka rahasianya. Haha. Ini kabar ekslusif! Selamat, pembaca catatan ini beruntung!###

* * *


#03. SETIAP ANAK PUNYA LUKA



Setelah dewasa, masih pernahkah anda menangis? Saya tergolong pemilik “pabrik air mata” yang masih berfungsi baik sampai sekarang. Tidak sering, tapi ada saja.

Suatu kali ketika menumpang KRL, seorang pengamen menyanyikan lagu Ayah yang ditulis dan dipopulerkan Ebiet G. Ade. Bulir air mata saya tumpah. Bukan semata karena lagunya. Juga karena bagaimana sang pengamen menghayati lagu itu. Seusai ia menyanyi, saya memberi reaksi di luar kebiasaan. Memberi uang kepada pengamen tanpa menatap matanya. Saya palingkan muka, malu rasanya jika ada orang melihat mata saya merah dan basah.

Saya masih sering menangis jika memainkan lagu “Emak” milik Iwan Fals. Menangis bukan malu lantaran cara saya bermain gitar terlalu buruk. Entah kenapa. Mungkin karena ingat emak. Lagu “Song From My Father

(To My Homeland

)” karya Bill Saragih juga punya efek yang sama pada saya.

Pangkal bulan Juli 2008, saya menangis dua kali dalam selang tiga malam. Rabu malam dan Sabtu Malam. Kedua-duanya karena menyaksikan acara “samenan

”.

Samenan

sebenarnya bisa disebut acara biasa. Cuma perayaan selamatan kenaikan kelas sekaligus kelulusan anak Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah yang lazim dilakukan oleh masyarakat tepi kebun kami, pelosok kabupaten Sukabumi.

Bedanya dengan acara serupa di daerah lain adalah pada kemasannya. Di Sekolah-seolah mahal Jakarta, acara begini diselenggarakan secara megah. Ketika saya menjalani sekolah dasar di Prabumulih, yang namanya acara kenaikan kelas cuma ditandai dengan orang tua atau wali murid datang mengambil raport, ditambah dengan pengumuman siapa murid terbaik yang menjadi juara umum. Bangga nian rasanya berjalan menuju podium kecil di halaman sekolah dengan degup kencang di dada, kalau kitalah sang juara umum. Acara kelulusan hanya sedikit lebih dari itu. Ada pentas seni yang disaksikan oleh orang tua dan wali murid.

Pada acara samenan

, acara kenaikan kelas plus kelulusan bagi siswa SD/MI di sekitar desa Cihaur berarti lebih. Samenan

adalah juga pesta rakyat. Berlangsung sedari tengah hari hingga lewat tengah malam. Di dekat sekolah didirikan panggung terbuka. Semua penduduk kampung berkumpul menghadap panggung. Penduduk kampung lain pun datang. Pasar kaget muncul. Jalan tak cuma macet. Mobil tak bisa lewat. Keluarga saya pernah terjebak di tengah-tengah beberapa Samenan. Maju tak dapat, balik arah di hadang Samenan kampung lain.

Panggung samenan

tak hanya diisi dengan pentas seni kreasi anak-anak sekolah bersangkutan. Malam hari, selepas acara formal mengumumkan kenaikan kelas dan kelulusan, panggung akan terisi hiburan musik dangdut dengan biduan yang didatangkan dari Palabuhan Ratu, wayang golek, atau hiburan degung.

Tapi bukan joget sang biduan atau ratapan lagu-lagu patah hati yang ia lantunkan yang membuat saya menangis. Bukan pula cerocos dalang wayang golek. Lagi pula saya tak mengerti bahasa yang digunakan sang dalang.

Air mata saya jatuh karena membayangkan sekiranya saya adalah satu dari anak-anak yang naik kelas atau lulus sekolah di kampung yang bersamenan. Senang nian ketika nama saya disebutkan naik kelas, apalagi mendapat ranking. Ditepuk tangani dielu-elukan, menjadi buah bibir bahkan ketika para orang tua kembali ke sawah keesokan harinya.

Apa istimewanya? Waktu masih SD saya pernah mendapat ranking. Tapi mirip percuma, Ubak (bapak) dan Umak (ibu) saya tak pernah menanyakannya. Apalagi memberi pujian ketika melihat nilai di raport bagus. Melihat raport pun mereka nyaris merasa tak perlu.

Yang sering saya terima adalah pertanyaan, “Kapan bayaran?” dari Ubak. Pertanyaan ini bukan muncul lantaran ubak siap membayar kapan saja saya (tepatnya sekolah saya) meminta. Justru sebaliknya. Kehidupan kami yang amat-sangat-kelewat serba sulit di masa itu membuatnya merasa perlu bertanya demikian. Begitu tahu, kapan uang sekolah anak-anaknya harus dibayar, ubak harus berpikir keras bagaimana mendapatkannya. Bila perlu dan teramat sering adalah menjual tanah kami bidang demi bidang. Sekat demi sekat. Satu sekat setara dengan 400 meter persegi atau 20 x 20 meter.

Ada satu ketika, yang kelak mengubah pandangan saya tentang nilai “terbaik”. Hari itu saya bersekolah sore. Karena sekolah kami hanya 3 kelas, maka ada yang belajar pagi dan ada yang sore.

Pulang sekolah, saya berlari ke rumah. Di rumah tak ada orang. Saya tahu umak pasti di kebun belakang rumah. Di sana kami menanam kangkung dan genjer. Tak sabar saya susul ke sana. Dada siap meledak karena tadi di sekolah guru saya, Ibu Rujiah, mengumumkan nilai ujian matematika. Saya dapat nilai 10. Biasanya itu bukan hal luar biasa, karena lebih sering dua tiga teman saya mendapat nilai yang sama. Hari itu saya sendiri yang berhasil meraih nilai terbaik. Luar biasa bahagia rasanya waktu itu. Saya ingin berbagi kebahagian itu dengan orang rumah. Ubak dan Umak pastinya.

Benar saja, umak sedang memetik kangkung. Setengah duduk di tengah kebun yang becek. Tak jauh darinya, ada tumpukan kangkung yang sudah dicuci siap ikat.

Dengan semangat saya ceritakan. Saya narsisis! Saya bilang saya adalah murid terbaik di sekolah!

Umak nyaris tak menanggapi. Berdehem sebentar. Dari bibir umak terdengar, “Ikati kangkung!”

Mungin umak menoleh pun mungkin tidak, entah saya sudah lupa rinci ceritanya, bahkan dulu kalau bisa waktu itu saya ingin lupa saja bahwa hari itu pernah terjadi dalam hidup saya. Saya ingin menangis. Tapi tidak bisa. Mungkin kangkung mengeluarkan zat yang bersifat anti-menangis, berlawanan dengan zat yang keluar ketika mengiris bawang.

Sejak itu saya tidak peduli tentang nilai terbaik. Mau dapat berapa juga tak peduli. Asal tak ada “angka merah” atau tak naik kelas. Sejak SD nilai raport saya merosot. Bahkan ketika SMA, pernah menduduki peringkat 35B dari 36 siswa.

Menjadi yang terbaik, tidak pernah hinggap di kepala saya. Terbaik, teratas, terpintar, bukanlah hal yang menarik. Jangan-jangan tak lebih penting dari mengikat kangkung.

Ketika kuliah, teman-teman seangkatan sudah habis pada tahun ke lima. Saya tamat setelah 6 tahun 11 bulan, dari maksimum 7 tahun masa kuliah. Tapi saat itulah titik balik datang.

Ketika sudah pasrah hampir dikeluarkan (dropt-out) dari kampus, saya meminta permakluman dari umak jika saya benar-benar ditendang oleh kampus. Umak berucap sederhana, “Apapun hasilnya, umak terima. Yang pasti, karena kamu sudah mulai, usahakan pula sampai ke akhir.” Hari itu, saya merasa tak ubahnya tanah kerontang dilanda kemarau berkepanjangan yang disiram hujan.

Peristiwa di kebun kangkung berpuluh tahun silam tak akan pernah bisa saya lupakan. Sama tak mungkinnya dengan melupakan bagaimana emak menyemangati saya diambang pintu eliminasi kampus. Hanya yang pasti, luka yang saya alami di kebun kangkung juga memberi keyakinan baru. Itu pun setelah saya mendengar kisah-kisah masa kecil para sahabat. Bahwa setiap anak punya luka. ###


#04. KISAH SEHELAI BAJU LEBARAN



Ini 1 Syawal! Ada banyak kisah tak keren saya ketika riaye

(hari raya).

Ketupat berarti lebaran, kecuali bagi tukang sate padang. Di kampung kami, ketupat adalah kecambang. Bedanya ia tak dibuat berbahan janur, melainkan sejenis daun pandan yang kami sebut setedung. Aromanya, khas. Terutama bagi saya.

Tahun ini saya tak lagi bisa menikmati kecambang anyaman perempuan paling hebat di dunia kecambang yang saya kenal. Umak. Ibu kami.

Umak kami sudah berpulang, beberapa hari setelah satu syawal setahun silam. Lebaran yang saya tak pulang.

Apakah saya sedih karena tak ada lagi kecambang dan perempuan hebat itu? Tidak juga. Ia sudah mengabadi dalam senyumnya di ingatan saya. Senyumnya menganyam kecambang.

* * *

Saya sedih karena satu hal. Satu kali saya membuat ia sedih. Saat lebaran. Sekali-kalinya saya kira dalam hidup saya saya membuatnya sedih.

Adalah perkara baju lebaran!

Berbeda kami dengan banyak teman yang mengaku tak mementingkan baju lebaran. Bagi kami berlima saudara, semasa kecil, baju baru adalah sesuatu yang sangat terharapkan tiap datang lebaran idul fitri.

Kami hanya mendapat baju baru setahun sekali. Di sanalah penghargaan pada baju lebaran berpangkal pada kami.

* * *

Suatu lebaran, empat per lima kami riang mendapat baju lebaran. Satu tidak! Saya! Saya mendapat sehelai kemeja putih dengan motif garis-garis berarah vertikal. Saya meraung. Mencak-mencak! Ngambek! Kecewa!

Bukan karena warna dan motif. Melainkan karena itu --baju yang dulu saya sebut—baju tangan panjang.

Ya! Kemeja lengan panjang.

Saya tak tahu kenapa saya menampik baju lebaran itu. Saya hanya membayangkan betapa malunya saya bila berjalan keliling kampung mengenakannya.

Saya hanya berdemontrasi! Saya kenakan! Terus keliling ruang tengah rumah dengan beryel-yel sambil menangis! "Inilah… SI TANGAN PANJANG keluaaar

!!!

Umak saya tertangis dalam tawanya. Entah bagaimana caranya, ia bisa membelikan sebuah baju bertangan pendek, kemeja lengan pendek, untuk memenangi rasa kecewa saya.

Ah

, Umak! Izinkan anakmu menyirami tulisan ini dengan sedikit air mata dioplos seiris senyum!###


#05. OTAK UDANG INGIN LIHAI BERENANG (DAN BALADA POTAS)



Lahir dan besar di tanah banyak sungai, maka wajar bila saya ingin bisa berenang.

Dusunlaman kami, Prabumulih dibelah oleh sebuah sungai (batanghari), Kelekar. Batanghari Kelekar tak dapat dihitung sebagai sungai besar. Kecil saja. Dia tepat di tepi kebun belakang rumah. Tapi tak bisa direnangi. Pekat ia dengan limbah industri pengeboran minyak bumi.

Tapi ada banyak sungai dimana kami bisa berenang. Salah satunya di batanghari (dalam bahasa Prabumulih dibaca: batang-ahi

), jambat teras. Di alirannya paling tidak ada 3 titik pemandian favorit; kali pucuk, jerambah kuning, dan (lubuk) jambat teras itu sendiri. Yang terakhir dekat muara, sebelum bergabung dengan Kelekar.

Jerambah kuning, terhitung paling sering saya kunjungi. Selain karena hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah, juga karena paling jernih. Meski tak selebar dua titik pemandian lain.

Seperti pada awal, lahir dan besar di tanah banyak sungai, maka wajar bila saya ingin bisa berenang. Dan di tanah kami, saya dengar sebuah mitos:

“Supaya pintar berenang, banyak-banyaklah makan udang mentah!”

Semasa bocah, saya menelan mitos itu mentah-mentah. Suatu pagi, sekitar pukul sepuluh, serampung membantu umak di kebun karet dekat tepi pemandian jerambah kuning, saya bermaksud belajar berenang. Sembari mengelupaskan bau getah karet nan asam.

Di permukaan air saya dapati sejumlah udang sungai sedang berenang tak keruan. Seperti pemuda kampung sedang mabok yang pernah saya lihat. Udang-udang itu, mudah nian ditangkap dengan tangan.

Maka, teringat mitos udang mentah membuat lihai berenang, saya langsung lahap udang-udang kecil yang berhasil saya tangkap. Entah sudah beberapa genggam udang mentah saya kunyah-telan. Makin banyak, pasti lebih cepat lihai berenang.

Tak lama kemudian saya pulang ke rumah. Langsung muntah-muntah. Rupanya, menurut pendapat orang di rumah, setelah saya tuturkan kronologi pra-muntah, saya keracunan.

Udang-udang itu mabuk karena dituba. Orang-orang jawa di kampung kami bilang di-jenu. Belakangan saya tahu mereka sengaja meracun ikan (dan mahluk air lain di sungai) memakai potas (potassium sianida

). Pekerjaan meracun ikan ini dinamai “mutas

” oleh mereka.

Saya limbung. Semua udang bahan pelihai berenang terkuras dari perut. Untungnya, bisa dinetralkan dengan meneguk air garam.

* * *

Lama-lama saya akrab dengan ritual orang kampung mutas. Setiap kali ada yang mutas saya dan teman-teman kecil tahu, siap mengintil di belakang mereka. Kami selalu siap membawa senjata jaring, tanggok, tudungsaji, atau apapun yang kami bisa pakai untuk menangkap ikan.

Lama-lama, kami diminta urunan untuk membeli bubuk potas yang dibentuk butiran. Konon katanya mahal. Mulailah tak ada lagi free-mutas

. Yang ada mutas berbayar.

Sebelum turun ke air, titik awal, di hulu sungai, kami dibagi masing-masing sekitar 5-6 butir potas. Butir-butir amunisi pemunah mahluk air itu kami letakkan di dalam tangguk dan jaring yang kami bawa. Ketika mencebur ke air, butir racun ikan tadi ditumpahi lumpur kemudian di aduk-aduk di seluruh muka sungai, hingga keruh.

Hari pertama mutas berbayar, saya terpikir ide jahat. Hendak curang. Dua butir putas jatah saya, yang sudah kena air, saya masukkan ke kantong plastik, lalu disembunyikan di kantong depan celana jeans yang saya kenakan.

Tak sampai berjam-jam, saya merasa ada yang tak beres di paha kanan sisi dalam. Rasa panas terbakar. Segera saya naik, kulit paha dimana rasa aneh itu muncul, melepuh. Alamaaak

!!!

Setalah menjadi borok, dan akhirnya sembuh, hingga kini bekas terbakar itu ada.

Sejak saat itu. Sejak saat itu saya berhenti ikut mutas. Jauh sebelum diberitahu para pemerhati lingkungan hidup bahwa meracun ikan dengan potassium sianida adalah dosa besar terhadap ekologi.###


#06. MI TELOK, MI TELOK… | BALADA MIE INSTAN PLUS TELUR…



Supaya bisa punya uang jajan, supaya bisa beli alat tulis sedikit lebih baik, supaya bisa sesekali naik angkot menempuh 3 kilometer ke SMP, saya harus cari duit!

Begitulah.

Salah satu profesi yang sebenarnya layak masuk curriculum-vitae

ku adalah menjadi ball-boy yang kami sebut kedi. Ball-boy

? Haha

. Keren juga. Serasa mirip Super-Hero seperti Superboy, atau Soedirboy?

Padahal itu maksudnya, bocah pemungut bola tenis. Pekerjaan aneh demi orang-orang dewasa dapat mukul-mukul bola dan kalo nyangkut atau keluar lapangan nyuruh anak-anak berlarian. Dan anak-anak itu seharusnya berbakat menjadi sprinter

… terlatih mengejar bola di bawah rezim smash

!

Begitulah saya dan kami adalah kedi

. Istilah kedi sangat mungkin diadaptasi dari kerja bantu-bantu di lapangan golf; caddy

.

Meski uang yang kami dapat sama sekali bukan untuk bersenang-senang, sesekali kami mentraktir diri sendiri dengan semangkuk bakso atau es Hoya, limun murahan warna merah meronta.

Itu cuma sesekali!

Suatu kali, sembari menunggu “jam kerja” kami beristirahat di rumah seorang uwak. Kebetulan beberapa cucunya, keponakanku, adalah mitra kerjaku.

Rumah orang Prabumulih pada awalnya rumah panggung dengan bagian bawah telanjang. Belakangan bagian bawah rumah diberi dinding. Beberapa rumah, belakangan menyewakan bagian bawah rumah untuk dihuni orang lain. Begitu pun dengan rumah uwak. Bagian bawah rumahnya disekat dua. Satu disewakan, sisanya dipakai sendiri.

Nah, di hunian bawah itulah kami para “ball-boy

muda berbakat” biasa berkumpul. Suatu hari terdengar keluhan seorang anak dari bilik kontrakan.

Ai Mak… mi telok, mi telok, maleeek…

!” itu keluhan dalam bahasa Palembang untuk, “Ai Mak

… mie telur, mie telur, bosaaan…

!”

Busyet! Sangat mungkin di masa kanak-kanak itu saya memaki Tuhan. Kenapa Dia bisa ciptakan orang yang bisa bosan dengan mie (instan dimasak bercampur) telur. Sungguh itu makanan mewah bagi saya.

Maka jadilah dendam menyerupai karat zaman pada artefak.

Pada masa kuliah, karena sembari bekerja… saya bisa punya uang sendiri dalam jumlah cukup. Tak sulit untuk melunasi dendam. Saya beli persediaan mie instan dan telur untuk dimakan 3 kali sehari. Kadang lebih. Karena selain sarapan, makan siang, dan makan malam, ada juga ngemil sore dan makan dalu. Rencananya program itu akan berlangsung selama 1 bulan penuh.

Saat itu saya merasa orang yang paling bahagia. Pemenang dalam menuntaskan dendam masa kanak.

Satu pekan kemudian, saya mendapati hal tak mengenakkan. Mie instan campur telur telah mengerjakan proyek pengrusakan pada pencernaan saya. Mau buang air besar, yang keluar cuma angin! Bzzz



Suara keluhan seorang anak dari bilik kontrakan yang saya dengar bertahun-tahun sebelumnya, terngiang lamat-lamat.

Ai Mak… mi telok, mi telok, maleeek…

!” ###


#07. UJIAN MANIS DALAM BIS



Ini bukan tentang kisah remaja ala Hilman dengan Lupus di era 90-anya, Sayang.

Tentang seorang Bu Fili! Saya hanya ingat sepenggal namanya, tak lengkap. Dia salah satu guru yang selalu menempel dalam memori ingatan saya yang berkuota terbatas.

Pasalnya sederhana. Saya pertama dan terakhir kali berkesempatan belajar dari beliau di pengujung masa kuliah saya. Untuk mata kuliah yang semula saya anggap sangat sepele. Metodologi Penelitian, kalau tak salah.

Meski sepele, saya sempat entah 3 atau 4 kali mengulang, mentok

di nilai E. Artinya, nol, dekat ke nihil!

Masalahnya juga sederhana. Penolakan terhadap metodologi lain. Saya merasa sehari-hari bersama beberapa organisasi lingkungan di Sumsel sudah hampir muntah makan penelitian. Mulai dari kualitatif sampai ke kuantitatif. Makanya ketika disodori text-book

kampus, saya tak terangsang untuk membaca. Begitu ujian, tewas!

Alkian, kesempatan ujian terakhir pun luput. Saya terbaring di hajar thypus

di RSI Siti Khadijah Palembang.

Begitu pulih saya berhasil membangun janji ujian susulan dengan Bu Fili. Jam 10 pagi pada sebuah hari.

Tapi saya tak bisa menepati janji itu. Saya memang berbakat ngaret. Tapi sungguh hari itu ada kejadian tak keren yang membuat saya baru bisa tiba di kampus satu jam di atas janji.

Terang saya tak bisa berharap bisa menemui bu Fili. Sahabat saya, Kak Is, Tata Usaha menyampaikan berita seru. “Sepertinya Bu Fili sedang marah besar. Dia baru saja pulang. Mungkin masih bisa disusul ke terminal.”

Rasanya saya masih sempat bilang terima kasih untuk informasinya. Tapi selesat mungkin saya sudah harus ada di terminal kampus.

Eureka! Saya menemukan beliau di bis kuning unsri. Saya sudah siap menampung maki.

Beliau memang marah. Sengaja datang ke kampus, bawa-bawa anaknya yang masih kecil, cuma demi saya. Begitu pengakuannya.

Saya hanya bisa jujur. Saya hampir tidak punya uang untuk ke kampus hari itu. Baru dapat pinjaman, tepat pukul 10 pagi. Saya katakan tegas-tegas di tengah bis yang mulai ramai. Beberapa mahasiswa yang saya kenal, senyam-senyum. Mmm

… tak keren nian! Padahal ongkos angkot dilanjut bis mahasiswa saat itu cuma Rp 1.500,-

Yang keren, Bu Fili. “Duduk di belakang!” suruhnya. Kebetulan bangku di belakang beliau kosong. “Keluarkan kertas, catat soalnya!”

Itu gila! Saya bisa saja melompat bersorak dan beraksi lebih gila ketimbang Archimedes! Tapi saya memilih bersorak dalam hati.

5 Soal! 5 menit tak bulat, saya serahkan kertas jawaban ke guru nan mengagumkan itu.

Dan bis pun berangkat. Dan kenangan lekat!###


#08. SANGKURIANG PROJECT

| SKRIPSI



Saya malas sebenarnya menulis kisah tak keren seputar masa kuliah yang sebagian besar saya habiskan di kantin. Tapi gara-gara tadi malam, seorang adik di UGM yang masih berkutat soal skripsi tidak percaya ketika saya katakan, “hanya perlu 16 hari untukmu menggarap skripsi!”

Terantarlah saya pada satu ingatan. Suatu dekat maghrib, dosen saya, J.J Polong menandangi saya di tempat kos. Ah

, bukan tempat kos sebenarnya. Hampir 6 tahun di Palembang saya hanya hidup menumpang, menjadi penghuni gelap tetap beberapa sekretariat organisasi yang baik hati membolehkan saya tidur di sana.

Tiba-tiba Polong menjabat tangan erat tangan saya. Sambil mengguncang-guncang tangan saya di dalam genggamnya, ia berkata senang, “Selamat, Bung! Kudengar kamu D-O (dropt-out

)!”

Saya nyengir. Tak bisa lebih dari itu.

Kami ngobrol mengulu-ilir, sambil menemani cangkir-cangkir kopi. Polong berkali-kali berucap bahwa ia senang dengar kabar tentang saya. Katanya, “banyak yang berhasil lulus tapi ini dan itu. Dan kamu, tidak lulus tapi begini-begitu.”

Saya ngakak. Sudah bisa lebih dari sekadar nyengir.

Sedari maghrib hingga kira-kira lewat tengah malam kami hanya berbagi bahak. Tapi ada satu hal yang mirip matematis dia tanamkan pada saya. Tutur Polong, “bila masalahmu adalah skripsi, maka tidak ada masalah!”

Saya kembali nyengir. Seperti kehabisan bahan bakar ngakak.

“Skripsi itu 6 SKS. Artinya?” kedengarannya dia bertanya.

“Enam kali empat puluh lima menit dikalikan lagi 16 kali pertemuan,” sepertinya aku menjawab Polong.

“Ya, sudah! Artinya bisa 16 hari kau kerjakan itu!” seolah dia menyudahi masalahku.

Ya. Lebih singkat seharusnya. Hanya perlu 4320 menit. Cuma 72 jam. Pas 3 hari 3 malam. Aku cuma membayangkan sedang memencet-mencet kalkulator.

Yang kuingat, pangkal dinihari itu aku tertawa riang. Sesungguhnya tawa itu lebih mirip terharu dengan cara yang salah.

Terima kasih, Kak Polong! Saat itu, dirimu memang mirip tumbuhan polong-polongam, kekacang, leguminosa. Penambat hara untuk tanah kritis.

* * *

Saya akhirnya meniru semangat Sangkuriang menyelesaikan order membuat gunung dalam sehari semalam. Sebab, waktu saya sudah tak banyak.

Dan, Sangkuriang Project itu memang terampungkan dalam waktu yang hanya setengah bulan. Ditambah beberapa hari demi hal-hal administratif.

* * *

Nah, masalahnya… terlanjur mencatatkan kisah tak keren ini, saya merasa harus menambah satu lagi kisah tak keren sekuelnya. Setelah ini. Tentang seorang dosen “pemberani” yang hingga kini saya tak yakin apakah saya sudah menyampaikan rasa terima kasih saya. Saya kira, setelah catatan kali ini.###


09. CATCH ME IF YOU CAN



Catatan kali ini akan lebih panjang ketimbang catatan-catatan sebelumnya. Bisa pula menjemukan untuk dibaca orang lain. Sebab, ini sungguh kisah biasa dan tidak istimewa bagi selain saya.

Saya sekadar ingin mencatat berapa beruntung sepanjang hidup ini, saya (merasa) dibantu banyak orang baik. Pun dalam proses ber-sekolah, saya bertemu guru-dosen baik. Semua mereka baik. Mulai dari amat sangat kelewat baik, baik, cukup baik, dan (kurang baik).

Tapi “sang pemberani” saya hanya kenal satu orang.

Kadang saya pikir dia, dosen saya ini, sudah merasa dirinya sial mendapat tugas membimbing seorang kucluk bernomor urut 40 pada angkatan 1996 di program studi tempatnya mengajar. Sepanjang 7 tahun, saya jarang sowan kecuali tiap awal semester. Sekadar meminta tanda-tangannya pada Kartu Rencana Studi.

Sudah jarang konsultasi, sekali-kalinya “berkonsultasi” sudah bermasalah.

Suatu hari dia meminta saya datang ke tempatnya. Saya lupa apakah peristiwa ini mendului atau menyetelahi pertemuan saya dengan Polong (saat itu seingat saya Polong berdua, tapi saya lupa siapa rekannya. Mungkin Yakub atau Rebon atau siapa).

Yang pasti sebelum ini, kami sempat berobrol singkat di ruangannya. Ketika itu dia seperti sakit kepala melihat saya, dan saya hanya sempat bilang, “Tidak lulus dari sini adalah keniscayaan. Tapi saya masih ingin melewati masa-masa akhir di sini.”

Setelah pertemuan singkat itu, dia masih seperti sakit kepala.

Kembali pada permintaannya untuk saya datang, saya penuhi. Pukul 9 suatu pagi, kalau tak salah. Ketika sampai di muka ruangannya, pintu terbuka, seorang mahasiswi, adik tingkat sedang mengambil waktunya untuk berkonsultasi. Saya mundur. Berjalan sedikit di belakang gedung Jurusan Teknologi Pertanian Unsri ada kantin Kak Leman. Berencana memesan kopi kemudian minum satu seruput lalu kembali ke ruangan yang tadi saya urung masuki. Mudah-mudahan sang mahasiswi sudah rampung berkonsultasi.

Satu seruput kopi saya kembali berjalan ke depan. Berpapasan dengan Kak Is, sang Tata Usaha. Dia menyampaikan pesan dari dosen yang ingin saya temui. “Sekarang dia harus mengajar di kelas. Setengah dua belas kau ditunggu di ruangannya.”

Ok

! Saya pun kembali menenggelamkan waktu di pekat kopi.

Hingga kurang lima menit dari waktu pada pesan, saya berniat menemui sang dosen. Tapi pintu ruangannya terkunci dengan sebuah pesan lanjutan. Dia buru-buru pulang. Segera susul dia ke Palembang! Halah! Dia menanti saya di sebuah kantor proyek pertanian swasta di bilangan Lapangan Hatta.

Saya tak punya pilihan selain mengejarnya meski saya bukan Deddy Mizwar dan dia sama sekali bukan Lidya Kandou. Sumpah mati saya tidak tahu dimana kantor termaksud? Tapi apa susahnya bertanya.

Tiba di kantor termaksud, dia sudah tak ada. “Entah kemana?” begitulah jawaban yang saya petik.

Pulang ke rumah? Uh, rumah yang mana. Konon ia punya lebih dari satu rumah. “Bisa jadi ke ‘lapangan’,” sebuah informasi baru dan membingungkan terdengar.

Saya dapat nomor telepon rumahnya, dengan jawaban pasti bahwa dia tak pulang ke rumah. Naluri saya menyatakan dia ke lapangan. Dan akhirnya saya tahu letak tempat yang disebut ‘lapangan’ itu berada Jalur 8. Kawasan pasang surut. Jauh mengilir Sungai Musi. Untuk tiba di sana perlu beberapa jam dan hanya bisa dengan kapal motor. Terdengar seperti petualangan.

Melesat saya ke dermaga kapal motor (boat) di depan Benteng Kuto Besak 16 Ilir Palembang. Dan ternyata, kapal motor dengan tujuan Jalur 8, hanya ada hingga tengah hari. Saat itu sudah waktu Asar.

Naluri saya mengatakan, dia menantikan saya di sana. Tunggu besok, Senior!

* * *

Demikianlah, keesokan harinya saya sudah mengilir Sungai Musi di atas kapal motor. Pada tengah saya sampai di sana. Markas tim ‘lapangan’ yang saya tuju ternyata berupa sebuah rumah panggung.

Dia datang menyambut di tangga. Saya masih ingat senyum lucunya. Dia ompong seperti saya. Tapi terasa lucu bukan karena itu. Melainkan dia seperti terpaksa tersenyum di tengah sakit kepala karena saya.

Di sana ada satu bekas teman sekelas saya. Joko. Sengaja saya sebut bekas, lantaran dia tamat sekolah jauh sebelum saya. Wong saya sendiri belum. Ada juga Ceper. Dengannya saya sudah akrab. Meski beda jurusan, kami sama-sama kantineers. Dan tiga lagi para mahasiswi yang sedang riset.

Bisik Joko, “Dia menang taruhan, tuh

!” Maksud joko, ya, dosen saya.

Saya mengeriputkan kening.

“Tadi malam kami taruhan. Dia bertaruh bahwa kau akan sampai ke sini hari ini. Saya bilang tidak mungkin!”

“Sial!” kumaki Joko dengan sepotong cengir.

[Sengaja catatan ini dipenggal hingga sini, sebab saya sendiri malas membaca catatan panjang. Bagian berikutnya, setelah ini]

* * *

Jelang sore usai bisik-bisik tentang taruhan antara dosen saya dan Joko (sepertinya Ceper turut terlibat di dalamnya], dosen saya mengajak bicara. Sebelum dia menghambur kata, saya langsung minta saran tentang praktek lapangan. Yang saya dapat, nanti dulu praktek lapangan, sekarang omong skripsi. Sebuah uper-cut

yang meng-K-O

saya.

“Kau tahu tentang ‘draft

’?”

Apa maksudnya dengan draft

? Sejenis oret-oret tulisan? Pasti bukan. Maka saya lebih memilih menggeleng.

Dia menjelaskan tentang sebuah peristiwa yang terjadi pada saat sebuah traktor menarik sebuah alat, katakanlah bajak atau garu, yang sedang mengolah tanah. Dia jelaskan hubungan antara kecepatan berjalan traktor, tahanan tanah, dan apa-apa yang terjadi ketika pengolahan tanah. Dia sebut pula tentang satu faktor yang tak terketahui. Itulah… DRAFT

.

Saat catatan ini saya tulis, saya sudah lupa apa itu DRAFT

!

Itulah menu utama tugas akhir kuliah saya.

Dia segera suruh saya lakukan pengumpulan data dengan beberapa ujicoba. Untuk kebutuhan pengujian dia meminta Joko membantu saya. Dan di atas meja kerja di ruangannya di kampus, ada segepok apa pun yang saya butuhkan.

* * *

Pagi keesokan harinya kalau tak salah, saya sudah bermandi lumpur dengan Joko yang mengendarai traktor tangan. Di dekat kami, bangau-bangau tongtong beterbangan dan mampir mencari ikan. Kok

, rasanya mereka sedang menertawakan saya.

Hasilnya, bukan cuma data yang saya dapat. Tapi saya juga mematahkan sebuah timbangan gantung pinjaman dari petani setempat. Kasihan timbangan itu. Dia ditaruh di antara bajak dan traktor yang sedang berjalan.

Maka saya harus kembali ke Palembang dan juga mesti mengulang kembali untuk mengganti timbangan, kebutuhan dokumentasi, dan tentu saja mengulang pengambilan data menggunakan alat lain selain bajak. Garu dan gelebeg

.

* * *

Di kampus, sesuai janjinya, saya menemukan setumpuk referensi dan hand-book tentang DRAFT! Saya boyong semua. Baca cepat. Beberapa hari kemudian kembali ke ‘lapangan’ ditemani satu orang baik, Andi Penyu. Biasanya selain Penyu, dalam urusan tak berjuntrungan saya juga ditemani beberapa orang baik lainnya, salah satunya… David Vespa Von Tangga Buntung.

* * *

Maka mirip rampunglah tugas akhir yang cuma 20 halaman lebih dikit sedari halaman persembahan hingga daftar pustaka. Dan itu dinamai skripsi. Sumpah, ia bahkan tak layak masuk perpustakaan pribadi saya.

Akhirnya saya lulus juga. Melewati fase semester terakhir nan menyebalkan. Harus menyulap beberapa nilai E, beberapa nilai D yang melewati batas minimum, termasuk pelaksanaan praktek lapangan, tugas akhir, serta (hampir mengulang Kuliah Kerja Nyata).

Banyak printil yang amat sangat kelewat sayang bila tak saya kenang selama melewati masa ini. Tentang seminar hasil penelitian yang luar biasa dogol, jawaban pada ujian tugas akhir yang konyol tanpa basis teori hanya berdasarkan kecurigaan semata, lupa dresscode

seminar sampai-sampai harus bertukar celana dengan eka pentol, berisiknya Si Muda Siahaan dan beberapa veteran lain yang sengaja datang menyaksikan kekonyolan saya, dan lain sebagainya. Barangkali saya akan sempat mencatatnya. Barangkali.

Hanya yang pasti, saya terkenang Tri Tunggal. Sang pemberani. Dia berani membantu saya yang sudah sangat yakin bahwa tak lulus adalah keniscayaan. ###


#10. TIM ELIT 35 | PUNYA OTAK LUPA DIISI



Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada sejumlah aparat polisi yang mengagumkan, catatan kali ini adalah kejadian memalukan. Bagi saya, juga bagi polisi Indonesia! Beberapa tahun lalu saya masih bisa googling untuk menemukan berita terkait kasus memalukan ini. Entah sekarang.

Suatu hari saya ingin pulang ke Prabumulih. Tapi singgah sebentar di pusat perbelanjaan yang kala itu populer di Palembang. Internasional Plasa. Secara malas, disingkat saja IP.

Di lantai teratas, saya ada segerombolan tampang seram berseragam kaos hitam lengan panjang dengan petak merah pada pundak. Saya tidak kenal seragam itu. Tidak pula peduli.

Begitu turun ke lantai paling bawah, di pelataran dekat pintu masuk, manusia-manusia bertelanjang dada dideretkan. Duduk menyender tembok dengan tatapan ke arah Jalan Sudirman. Saya mengenali wajah-wajah ini sebagai teman-teman pinggir jalan bilangan Sudirman memang.

Di hadapan mereka, manusia-manusia seram berkecak pinggang. Ada yang melompat, menerjang, ala bintang film kung fu. Mereka menghajar manusia-manusia telanjang dada. Ini adalah kamp penyiksaan di tengah umum.

Saat itu saya sedang senang belajar memotret. Di ransel saya acapkali ada kamera SLR analog pinjaman dari sebuah perkumpulan. Saya merasa mendapat object bagus untuk latihan motret.

Merasa telah berada pada posisi agak aman, saya ambil beberapa gambar. Tiba-tiba dari arah belakang, ada yang merangkul saya. “Wartawan, mas?” tanyanya pura-pura ramah.

Saya mengendikkan bahu yang terangkul orang asing. Badannya besar. Rambutnya rapi. “Memangnya, kenapa?”

“Ikut saya dulu!” ajaknya, “sebaiknya untuk memotret harus minta izin dulu.”

Mmm… oh ya

? Tidak keliru? Tiap orang punya hak atas informasi publik. Apalagi yang saya potret ada di ruang publik.”

Dia diam saja. Mungkin tidak mengerti. Belakangan saya tahu, si pura-pura ramah ini adalah pentolan di gerombolan buruk seram yang sedang beraksi. Beberapa anak buahnya merampas kamera saya. Filmnya dikeluarkan, sambil memaki-maki, “Mahasiswa, ya? Tau

HAM?”

Film kamera itu musnah. Rekaman si peniru Jet Li dan Bruce Lee musnah. Saya bisiki pentolannya, si pura-pura ramah, “Tanggung jawab, ya.”

Saya ‘diajak’ ikut ke “markas” mereka. Saya tanya mereka, mereka jawab KODAM. Saya pun ikut saja. Tanpa protes. Penasaran dan ingin bisa berpanjang-panjang soal film saya yang musnah.

Kami naik Taft Hiline panjang. Saya duduk di belakang sopir. Di dalam, cabin belakang ribut. Ada dua orang telanjang dada yang sedang dipukuli beberapa orang buruk seram. Sesekali menanyai saya dengan cara “ngenyek

”, “Kau mahasiswa? Nak

protes HAM? HAM, HAM, Apa HAM?”

Sambil tertawa kecil, saya jawab saja tanpa menoleh. “Dak madak HAM bae dak tau. Daging babi

.”

Sepertinya jawaban saya menyakitkan dia. Padahal itulah artinya. Tiba-tiba kepala saya rasa ditowel. Dipukul tapi tidak terasa keras. Saya protes. Dia merepetisi ledekannya tentang HAM. Dia mengulang menowel kiri belakang kepala saya. Berepa jari dari telinga.

Jip Hiline terus melaju. Tapi tak lama. Dan kami sama sekali tidak ke kodam sebagai mana mereka sebut dengan bangga pada awal. Tak sampai 500 meter barangkali. Kami pun berhenti dan turun dari mobil pada sebuah kantor.

Pantas saja mereka bertanya-tanya dengan tololnya tentang HAM. Saya kira yang menyentuh berulang kepala saya memang tak sempat diajari hal begitu sepanjang masa pendidikannya yang singkat. Selama masa pendidikannya pasti setiap hari hanya makan pukulan dan makian, sedikit-sedikit belajar nembak mungkin. Yang memperlakukan saya demikian, juga yang berkungfu di tengah ruang publik tadi, adalah gerombolan Punya Otak Lupa diISI.

Gedung kantor pemberhentian kami adalah POLTABES. Kantor Kepolisian Kota Besar Palembang. Para telanjang dada bermuka lebam habis dipukuli kena kena bariskan di lapangan. Diguyur terik matahari.

Ada yang buruk seram menowel kepala saya lagi, selagi saya baru turun dari mobil. Dua tiga kali. Saya tak ingat persis. Yang saya rekam, bahwa mereka menamakan diris sebagai TIM 35. Tim Elite Kepolisian Kota Besar Palembang.

Tim Elit? Bah

! Taek

!

Saya tidak bisa melakukan banyak kecuali menggamit pentolannya. “Ruangan kapoltabes dimana?” gertak saya.

Dia memandangi saya sejenak. Saya lupa namanya. Entah Deni entah Dedi. “Sudahlah, katanya,” katanya kendur. “Sekarang kau bisa pulang. Lagi pula semua ini salahmu.”

Tak guna berdebat. Maka saya tertawa kecil saja. “Salah saya? He he

…”

Dia lekas mengajak saya ke ruangan dia. Sejurus kemudian, kami duduk berhadapan. Dia menggertak saya dengan kertas dan suara mesin ketik. “Saya bikin laporan, ya…” drrrrrrr…. Grdk

!

“Boleh,”

Lalu mulailah dia tanya nama, alamat, pekerjaan, dan tetek bengek lain seperti gaya chatting

jaman kuno. ASL, plis!”

Dia minta ditunjukkan kartu identitas saya. KTP? Saya baru saja kehilangan. KTM (Kartu Tanda Mahasiswa)? Hilang bareng KTP. SIM tidak punya. Paspor apalagi. Maka saya jelas tak punya identitas diri "standar".

Di dompet saya tinggal ada 2 kartu. Pertama, kartu hasil pemeriksaan golongan darah. Jelas tak laku bila saya tunjukkan. Kedua, kartu anggota IMPALM, sebuah kelompok pecinta alam. Ya, sudah. Saya kasih unjuk kartu berwarna hijau dengan pas foto narsisis seorang gondrong berbalut flanel merah menyandang ransel.

Dia lihat kartu itu, dan sepertinya merasa puas bahwa saya akan bisa dia injak. Saya bilang, kalau tak percaya identitas saya (selain yang tertera di kartu hijau), silakan nomor telpon kantor tempat saya tergabung yang sebelumnya sudah saya sebutkan padanya. Tanya saja!

Dia mengendur, tapi tetap hendak menginjak saya dengan berkali-kali mengatakan bahwa saya yang salah, memotret tanpa izin. Mengenai hal yang saya protes, perampasan film serta sentuhan berkali-kali di kepala saya adalah hak pihak mereka.

“Ya, sudah! Berarti tak selesai, nih

! Saya akan laporkan ke Kapoltabes!”

“Sudahlah… anggap saja salah paham.”

Seorang yang menyebut dirinya wartawan sebuah harian lokal besar di Palembang, mendekati saya dan menyalahkan saya. Akunya, dia, yang resmi wartawan selalu minta izin untuk meliput aksi semacam tadi.

Saya nyengir. “Baca-baca tentang hak publik!” tandas saya sebal.

Si pentolan buruk seram, minta saya menyudahi dan tak memperpanjang. Saya tekan dia untuk minta maaf atas nama lembaganya. Dia bilang, minta maaf atas kelakuan anak buahnya. “Anggap selesai, ya?” pintanya terakhir.

“Denganmu selesai, dengan lembagamu belum…” Saya keluar dan pulang. Karena keinginan semula adalah pulang ke rumah Prabumulih, maka saya segera mengejar bis menuju kampung halaman. Urusan dengan para buruk-seram, bisa besok.

Dan keesokan paginya saya sudah kembali ke Palembang. Sesampai di rumah singgah dimana saya menjadi penghuni gelap tetap, ribut. Beberapa teman, anak-anak pasar dan pedagang kaki lima, melihat saat saya ‘diamankan’ para buruk seram. Salah satunya segera mengabari teman-teman se-rumah singgah.

Maka, terjadilah hiruk. Teman-teman melancarkan protes dan menggalang aksi bersama. Saya jadi mirp jadi bintang. Tapi bintang kecil yang memalukan. Abang saya yang sedang merintis karir sebagai advokat turut. Teman-teman street-lawyer yang mendukung saya. Ah, mereka memang mencandu gugat-menggugat. Bahkan daun jatuh pun, bila kejatuhannya adalah berelasi dengan kelakuan negara, mereka bakal terpicu melancarkan gugatan.

Tim Elit yang jago kungfu tapi tak paham HAM terlaporkan kemana-mana. Maka beberapa minggu kemudian, melayanglah undangan ke rumah singgah saya. Kalau tak salah wakapoltabes Palembang mengajak makan malam bareng dengan agenda rujuk.

Undangan yang tidak menggoda syahwat saya. Tak bikin ngaceng

! Maka saya memilih tidak datang. Saya punya agenda sendiri. Melancong ke Pulau Bangka. Kebetulan ada kerjaan belajar bareng dengan masyarakat korban tambang di sana.

Pada penghuni rumah singgah, saya setuju mereka penuhi undangan wakapoltabes. Ajak anak-anak pasar sekalian. Supaya ramai, mirip rombongan pihak besan pada acara kawinan. Soal rujuk, gampang. Rujuk sesama lembaga saja. Tidak perlu rujuk dengan saya. Saya tak perlu dihitung. Kejadian tak keren begitu saja harus dibuat repot.

Yang terpenting ada pada penekanan supaya mereka minta maaf pada anak-anak pasar dan Tim Elit itu Bubar. Maka pertemuan itu berlangsung.

Sepulang ke Palembang, saya mendapat kabar. Tim 35 Bubar. Tapi diganti Tim-100. Tim Cepek

. Parah! Ha ha ha



Tapi tak terdengar bahwa mereka jago kung fu lagi. ###


#11.

DOG’S FEELING



English saya sungguh tak so well. Bisa jadi secara tata bahasa judul saya salah. Tapi maksudnya, ada sebuah cerita!

Satu-satunya pengalaman kerja saya di industri adalah menjadi penulis naskah di satu industri komik. Saya sebut satu-satunya karena inilah pekerjaan yang saya rebut dengan lamaran.

Wawancara kerja langsung berhadapan dengan sang art-director yang senang disebut pengarah kreasi saja. Kami bicara panjang lebar tentang apa saja! Si pengarah kreasi hingga kini, meski tak ingin, ternyata tetap saya kagumi.

Entahlah mahluk ini terbuat dari apa. Tapi ia super-multi-talenta. Menulis bisa, menggambar pandai, mematung kawak, maen musik apalagi classic-rock

mantap, konon garap panggung teater sampai ngulik

film juga teruji.

Diajak ngobrol, tentang apa saja, ayo. Ngomong sains gape, ngomong seni cakap, ngomong budaya jago, ngomong bisnis lihai, ngecap apa pun fantastis.

Belakangan saya ikut gaya teman-teman saya dalam meng-coding

namanya. Babe. Alumni Seni Rupa ITB ini sudah tua memang.

Dialah yang membuat saya ingat satu istilah pandak; dog’s felling

.

Ceritanya, wawancara kerja yang saya lakoni suatu sore berlangsung singkat dalam hal urusan kerja. Selebihnya ngalor-ngidul

dengan Babe.

“Saya dog’s felling

sama kamu!” pungkasnya. Saya sebenarnya pingin kejar apa maksudnya, tapi keburu dia susulkan, “Kayak anjing. Begitu mengendus anjing lain, dia bisa tahu, anjing baru ini cocok dengannya. Mmm… tapi jangan lama-lama di sini. Bisa bosan saya, ha ha…”

Mmm…



Maka, pagi keesokan harinya si anjing kecil menjalani kehidupan di dunia barunya.

Industri! Sesama anjing sesekali berkelahi. Edisi berganti berlanjut setiap bulan. Saya dan Babe bertengkar berlanjut tiap bulan.

Hampir dua tahun, saya terbakar! Saya butuh tempat bermain, bukan lawan bertengkar, kira-kira begitulah yang saya alami. Letih. Dan Babe tahu tentang itu.

Dia bilang, “Saya nggak bisa marah sama yang lain. Cuma kamu yang enak diajak berantem. Sesama anak jalanan, lah. Penulis yang lain, ya… Kamu bisa bayangin sendiri lah, apa yang terjadi kalau saya marahi mereka…”

Satu-satunya yang pantas terhindar dari kemarahan sang art director adalah Nyoh! Dia suka bantu mengedit naskah saya. Dia rajin mencium (naskah) saya dengan dengan spidol merah.

Lebih lanjut kata Babe,” Cuma kamu yang tidak bakal marah kalo kubilang, goblok kamu Syam, ya kan

?” katanya dengan gaya Surabaya-an.

Saya nyengir. “Ya

… dan cuma saya yang bisa bilang sakkarebmu

. DJ*******!”

Seasyik apa pun dunia dan pertemanan di tempat yang diasuh babe, saya sudah tak dapat terayu. Saya putuskan segera kabur. Seperti apa yang ia ingatkan di awal, jangan lama-lama di sini, supaya Babe tak bosan. Saya juga merasa demikian.

Saya cuma mengandalkan dog’s feeling

. Anjing tua dan anjing baru, punya potensi saling risih.

Mengandalkan dog’s feeling

saya kemudian menyiapkan kandang baru; softTEXT. Masih di dunia penulisan. Tapi kandang baru itu rupanya hanya sementara. Cuma bertahan satu tahun.

Karena istri saya butuh detoksifikasi dalam urusan kesehatan terutama pernapasan dan saya butuh detoksifikasi dalam urusan kejiwaan, maka kami hijrah dan hidup di dunia "utanpolitan".

Tiba-tiba saya ingat kata-kata Babe. Rasanya, dog’s feeling

itu muncul kembali. Saya menyukai sarang baru ini.###



Tentang Penulis


Syam Asinar Radjam. Seorang Prabumulih. Petani. kawansyam@yahoo.com | http://dusunlaman.net


Impressum

Tag der Veröffentlichung: 02.04.2011

Alle Rechte vorbehalten

Nächste Seite
Seite 1 /