Cover

Malam terasa merambat pelan. Sunyi mengeja waktu dengan teliti. Sebilah bulan menggantung di antara awan yang tipis. Tarsini menutup kembali tirai jendela kamarnya. Hampir setengah jam ia menatap keluar. Mencari sesuatu yang bisa mengobati hatinya. Mengobati kesepiannya.Tetapi ia tak menemukan apa-apa. Diluar hanya gelap. Bayang-bayang pohon yang jauh dan menyendiri seperti sebuah lukisan hitam yang mengiris hati. Menambah sunyi.

Satu minggu sudah Tarsini melewati hari-hari yang keras. Hari-hari yang membuatnya sadar bahwa angan-angan dan tekad tidaklah semudah kenyataan. Begitu meninggalkan rumah mungilnya di Purworejo dulu, ia sudah bertekad akan menghadapi semua kemungkinan dengan sepenuh hati, seburuk apapun itu. Berbagai macam cerita tentang TKW sudah ia dengar. Tragis, tragedi, bahkan maut tetapi itu tak membuatnya gentar. Wajah tua ibu dan Nang adiknya, selalu menjadi cambuk yang membulatkan hatinya. Ia harus mampu mengubah hidup keluarganya.

Tetapi di hari pertama ketika ia memasuki rumah di tepi gurun ini, ia seperti terjerumus ke dalam sebuah tempat yang lebih buruk dari penjara sekalipun. Setelah hari itu, tidak ada kehidupan lain selain apa yang di katakan oleh majikannya.Seluruh gerak tubuh dan bahkan nafas bukan lagi menjadi miliknya. Tak ada yang tersisa selain sebuah kamar sempit dan ranjang kecil yang lusuh.

Satu minggu dilewatinya dengan sangat berat. Penat badan dan penat hati. Majikannya seorang perempuan yang super cerewet. Bibir setipis pantat ikan mas koki itu tak pernah berhenti menari. Membuat kuping Tarsini panas. Selalu saja ada yang kurang di matanya. Dari karpet di ruang tamu sampai perabotan di dapur semuanya dicela. Ia selalu mengaggap Tarsini tidak becus bekerja. Padahal menurut ia, majikannya itu sendiri juga tidak bisa memberi contoh yang lebih baik. Yang dilakukannya setiap hari hanyalah makan, tidur, berhias dan menonton TV atau pergi ke kota berbelanja ini-itu. Terkadang Tarsini berpikir, bahwa majikannya itu disebut perempuan hanya karena mempunyai payudara dan vagina saja. Selebihnya, majikannya itu tidak dapat melakukan pekerjaan apapun yang seharusnya bisa dikerjakan perempuan pada umumnya, seperti perempuan di belahan bumi yang lain. Jangankan untuk mencuci baju atau bersih-bersih rumah, untuk membuat dirinya sendiri nyaman dengan apa yang ada saja dia tak tahu. Benar-benar perempuan yang hidupnya bergantung oleh pembantu.

Sedangkan Abu Khaled, majikan laki-lakinya itu meskipun kelihatan kasar tetapi hatinya sebenarnya baik. Hanya sayangnya ia jarang berada di rumah. Selain usaha toko kelontong di pinggir kota, ia juga bertenak ratusan kambing yang di kandangkannya agak jauh di belakang rumah sana. Hampir setiap hari ia mengembalakan ratusan kambing itu, mencari tempat yang lebih berumput di balik perbukitan batu . Di senja hari ia pulang dengan kulit hitam terbakar matahari. Yang diinginkannya hanyalah makan malam dan secangkir kopi kental panas. Sehabis isya ia langsung tertidur. Kira-kira dua atau tiga hari dalam seminggu ia pergi ke kota, membawa mobil tuanya yang dekil. Menjelang senja ia telah kembali dengan membawa berikat-ikat rumput segar dan berkantong-kantong khubus untuk kambing-kambing ternaknya. Sesekali teman-teman sebayanya datang dan mereka bercengkerama di ruang tengah yang lebar sambil menghisap sisha. Rupanya itulah kegunaan alat yang berbentuk seperti teko dan berpipa panjang yang pernah Tarsini lihat pertama kali dulu. Sekitar tiga atau empat orang duduk berputar dan menghisap pipa cerutu itu bergantian. Mereka menghabiskan sepanjang malam seperti itu. Menjelang dini hari mereka baru pulang dan keesokan harinya Tarsini harus bekerja keras membersihkan kotorannya. Pada hari tertentu Tarsini melihat Abu Khaleed menangkap beberapa kambing muda dan diikatnya di bak mobil belakang. Kambing-kambing muda itu ia jual di restoran-restoran besar yang banyak terdapat di kota Riyadh. Sepulang dari sana ia sering membawa berbagai macam makanan. Abu Khalid tidak pernah lupa memberi Tarsini satu bungkus penuh.

Tarsini juga mulai mengenal anggota keluarga yang lain. Anak mereka ada tiga. Semuanya laki-laki. Anak pertama berumur sekitar 18 tahun. Ia di panggil Khaled oleh ibunya. Oleh karena itu nama suaminyapun menjadi Abu Khaled yang artinya bapaknya Khaled. Badanya agak gemuk seperti ibunya. Kedua matanya menceritakan isi kepalanya yang kotor. Setiap kali ia berpapasan dengan Tarsini, mata si Khaled menciring tajam, menyala penuh gairah . Membuat Tarsini merasa jengah dan kesal bukan main. Jika di Indonesia mungkin sudah dilabraknya pemuda itu . Tetapi kali ini Tarsini hanya bisa diam dan beringsut pergi ke ruangan lain.

Si Khaled ini anaknya pemalas bukan main. Sehari-hari yang dikerjakannya hanya duduk diam di depan TV hingga ter tidur dan mendengkur keras. Waktu-waktu sholat dilewatinya begitu saja. Ketika datang waktunya makan maka ia akan menjadi raja dari segala raja. Kedua adiknya sering kena tempeleng jika ia tidak berkenan dengan tingkah mereka di meja makan. Setelah itu ia akan bertengkar dengan bapaknya sampai makanan yang ada dimulutnya berhamburan keluar. Pada hari Khamis, beberapa temannya dari kota sering datang menjemputnya. Dengan muka kusut dan rambut yang tak terurus ia akan memaksa bapaknya untuk memberinya uang. Lalu mereka bertengkar lagi. Tetapi Khaled lebih sering menang. Ia keluar rumah dengan muka puas dan kembali lagi setelah beberapa hari.

Anak laki-laki yang kedua bernama Yahya. Ia hanya beda dua tahun dari kakaknya. Tubuhnya lumayan tinggi tetapi kurus. Mukanya tirus dan kusam. Kedua matanya menjorok kedalam dan dilingkari warna kebiru-biruan. Hidungnya kecil, runcing dan membengkok ke bawah. Persis seperti paruh burung beo. Tak berbeda dengan ibunya, meskipun laki-laki tetapi si Yahya ini juga sangat cerewet. Bibirnya jarang diam. Ada saja yang diinginkannya dari Tarsini. Terkadang ia malah menunjuk sesuatu dengan kakinya. Jika Tarsini melakukan kesalahan sedikit saja maka berbagai umpatan kasar dalam bahasa Arab mengalir tanpa henti. Terkadang Tarsini sampai menangis sesenggukan . Ia yang tidak terbiasa dengan umpatan-umpatan kasar seperti itu menjadi sangat terluka . Tarsini benar-benar tidak mengerti, mengapa akhlak mereka begitu rendah dan menjijikkan. Apa sajakah yang di ajarkan guru mereka di sekolah? Apakah mereka tidak pernah diajari berperilaku sopan dan menghargai orang lain? Sebab ia pun bisa mengamati. Bukan kepadanya saja anak-anak mereka bertingkah seperti itu , terkadang terhadap ibu atau bapaknyapun mereka juga melawan. Berani berkata kasar. Ia sendiri yang hanya mengenyam pendidikan di sekolah dasar, ia tahu bagaimana menjunjung dan menghormati yang lebih tua. Tetapi agaknya mereka sangat jauh dengan norma-norma semacam itu. Tingkah laku mereka benar-benar seperti manusia yang tidak mengenal adat.

Anak yang ketiga adalah sikecil yang ikut menjemputnya di bandara dulu. Si kecil ini sering di panggil Hamud oleh bapaknya. Meskipun baru berumur belasan tahun tetapi lagaknya sudah seperti orang dewasa. Bicaranya banyak tetapi kosong. Ia ingin selalu diperhatikan lebih oleh siapa pun dalam keluarga itu. Pun oleh Tarsini. Sedikit saja ia tidak di acuhkan maka tingkahnya menjadi tidak terkendali. Pernah suatu hari Tarsini tidak mendengar panggilannya dari lantai atas hingga si kecil itu harus berteriak berkali-kali, ketika Tarsini datang maka tangannya langsung saja melayang ke kepala Tarsini. Untung saja Abu Khaled segera datang dan menendangnya hingga kalang kabut. Tetapi keesokan harinya ia masih saja sering memukul atau menampar Tarsini dengan tanpa belas kasihan . Oleh karena itu terkadang di tengah rasa lelah yang teramat sangat Tarsini sempat menangis di kamar mandi atau di manapun sekiranya tidak ada orang yang mendengarnya.

Malam itu ketika ia dihimpit sepi tiba-tiba ia teringat simbok dan adiknya. Ingin sekali rasanya ia bisa terbang, melayang ke langit dan kembali saja ke Indonesia. Biarlah ia meringkuk di rumah bamboo yang kecil dalam pelukan simboknya yang hangat. Melupakan semua cita-citanya untuk merubah hidup. Membiarkan semuanya berjalan seperti apa adanya.Menjauh dari rumah neraka ini.

Tarsini menangis tertahan. Beribu kekawatiran tentang simboknya tiba-tiba mengetuk hatinya. Sedang apakah simboknya di malam seperti ini? Apakah simboknya juga tengah terjaga dan memikirkan dia? Apakah simboknya dalam keadaan baik-baik saja? Sehatkah simboknya? Jika simbok sakit, siapakah yang akan merawatnya?

Rasa kangen yang sedemikian dalam membuat Tarsini ingin berkirim kabar kepada simboknya. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan ia tulis nanti, mungkin ia hanya ingin mengabarkan pada simboknya jika ia sudah selamat sampai di Saudi dan mulai bekerja. Tak perlu ia mencurahkan segala penderitaan yang baru saja di rasakannya. Ia tidak ingin membuat simboknya bertambah sedih dan kawatir. Biarkan semua kepahitan ini di telannya sendiri. Untuk dia sendiri.

Tarsini beringsut dari ranjangnya. Sebuah buku tulis yang di temukannya di halaman belakang rumah di ambilnya dari dalam lemari. Buku tulis bikinan China itu masih dalam ke adaan bagus ketika ia temukan. Ia tidak tahu mengapa si Yahya membuangnya begitu saja. Disobeknya halaman tengah yang masih kosong dan bersih. Di jadikannya buku tulis itu sebagai alas. Ia duduk di lantai sedangkan buku itu ditaruhnya di atas ranjang. Sebuah pulpen siap di tangannya.

_Simbok…..

Hanya satu kata itu yang mampu ia tulis, setelah itu Tarsini malah menangis tergugu di atas ranjangnya. Batinnya terobek paksa. Ia tidak mampu bercerita apapun untuk simboknya. Ia tidak mampu berbohong. Ia sebenarnya sangat ingin menuliskan semuanya. Tentang jerit hatinya yang tidak pernah keluar tersalurkan. Ia ingin menceritakan semua. Tentang betapa tertindasnya ia di rumah neraka ini. Tentang pandangan mata si Khaled yang menakutkan. Tentang perilaku Yahya yang menyakitkan, atau tentang si kecil yang sangat ringan tangan. Ia ingin menuliskan semua itu. Biar hatinya lega. Biar bebannya terbagi. Tetapi tangan Tarsini sepertinya kelu membeku. Ia hanya mampu menangis dan menangis. Hingga ia jatuh tertidur dalam gelimang air mata.

Baru keesokan harinya ia dapat menyelesaikan surat itu. Ia hanya mengabarkan kepada simboknya jika ia sehat-sehat saja. Ia juga bercerita bahwa ia sudah mulai bisa bekerja. Ia sudah bisa memasak masakan Saudi. Ia sudah bisa menggunakan berbagai peralatan rumah tangga dari listrik. Ia menutup surat nya dengan meyakinkan simboknya bahwa ia pasti akan segera berkirim uang jika ia sudah menerima gaji pertamanya. Ketika menulis itu air mata Tarsini tak pernah berhenti mengalir. Pasalnya ia juga tidak begitu yakin apakah majikan perempuannya akan menggajinya tepat waktu atau tidak? Sebab hampir setiap hari di sela-sela omelannya majikan perempuannya itu selalu bilang akan memotong gajinya atau menahan gajinya jika ia tidak senang dengan hasil pekerjaan Tarsini. Pendek kata, perempuan itu selalu membuat hati Tarsini resah. Tak tenang.

Tarsini sudah hapal betul pada hari apa Abu Khalid biasanya menjual kambing mudanya ke kota. Maka pada sore itu ia sudah menunggu di pintu depan. Ketika ia melihat Abu Khalid sudah bersiap-siap menghidupkan mesin mobilnya maka Tarsini berlari tergopoh menyambanginya.

“Abuya!” Panggil Tarsini terenggah. Ia berdiri di samping pintu mobil. Lelaki tua itu menatap Tarsini enggan. Ketika Tarsini mengangsurkan sepucuk surat bersampul putih, dahinya langsung terlipat ke atas. Ia menatap curiga.

” Ini surat untuk ibu saya.” Tarsini memohon.

Abu Khalid mengambil surat itu cepat dan menyuruh Tarsini kembali ke rumah. Mobilnya segera meraung keras. Asap hitam membumbung ke angkasa. Perlahan mobil tua itu membelah aspal hitam. Semakin menjauh semakin mengecil. Sepucuk surat itu digulung angin gurun. Melayang lewat jendela mobil. Bertaut di akar-akar pohon yang kering. Entah sampai kapan ….


+ + +

Matahari pagi membuka paksa mata Darsem . Ia masih terpuruk di sela batu besar di kaki bukit. Seperti seekor anak burung yang terjatuh dari sarang dan tak mampu lagi menciap, ia kehabisan suara. Semalaman ia menangis tanpa henti sampai jatuh tertidur. Matanya sembab dan bengkak. Ia beringsut pelan, memeluk kedua lututnya sendiri. Pagi yang sangat sepi.

Ia mengedarkan mata. Hanya bukit-bukit pasir dan pohon-pohon kering yang tampak. Rasa takut kembali menyusup ke dada. Ia mencoba berdiri. Memandang lebih jauh ke arah lain. Atap-atap gedung mengerlip . sangat jauh. Darsem kembali menyandarkan tubuhnya lemas. Tak tahu apa yang harus dikerjakan sekarang. Ia masih ingin menangis dan menjerit sepuasanya, memanggil nama ibunya. Tetapi ia sudah sangat lelah. Sangat lelah. Ia kembali jatuh terpuruk. Menelan ludah kering yang terasa pahit.

Peristiwa semalam kembali melintas . Tubuh tambun Hisham yang tergeletak berdarah. Sebilah pisau ditangannya. Jeritan histeris nyonya majikan yang merobek malam. Darsem menggelengkan kepala keras. Ia takut. Ia gelisah.Kata-kata pembimbing di penampungan dulu kembali terngiang.”Jika kamu membunuh maka kamu pun akan dibunuh. Itu hukum di Saudi.”

Satu butir air mata menetes pelan di ujung pipinya. Akan dibunuh jugakah ia? Apakah nasibnya akan berakhir di tiang gantungan? Apakah ini akhir dari perjuangannya untuk membahagiakan anak dan suaminya? Darsem membenamkan muka di antara kedua lututnya. Mengapa semua kepahitan ini mesti ia alami? Apakah ia seorang manusia yang sangat buruk sehingga Tuhan menjatuhkan kemalangan yang tidak ada habisnya? Mengapa harus ia? Mengapa ia harus bertemu dengan keluarga yang jahat dan semena-mena seperti mereka? Mengapa ia harus bertemu Hisham? Dan mengapa ia harus membunuhnya?

Beribu tanya memenuhi benak Darsem hingga membuat hatinya semakin sesak . Ia gelisah lagi. Ia berdiri. Rasa takut kembali mengejarnya. Ia sangat takut jika keluarga majikan melaporkannya ke polisi. Bisa jadi mereka sekarang tengah mengejarnya.

Mengingat itu Darsem segera meninggalkan kaki bukit batu. Ia berjalan terhuyung. Kerlip atap gedung di kejauhan sana menjadi penunjuk jalan. Ia menyusuri lembah berpasir, matanya menoleh ke segala penjuru arah. Ke dua telingannya ia buka lebar. Polisi kerajaan adalah momok yang paling menakutkan baginya. Seperti waktu dulu ketika ia di fitnah mengguna-gunai orang tua majikan. Bulu kuduk Darsem meremang, ngeri. Dadanya berdesir tidak karuan. Ia semakin cepat melangkah dan mencari perlindungan di antara pepohonan kaktus yang bergerombol meninggi. Duri-duri runcing di ujung dedaunan mengingatkannya pada jeruji kawat penjara. Nafas Darsem saling memburu, berbagai emosi menggumpal di dada. Takut dan sedih .

“Gusti Allah….! Duh Gusti Allah…! Duh Gusti…! Ampuni aku.” Jerit hati Darsem.

Sampai matahari hampir tenggelam, Darsem masih terpuruk di tempat yang sama. Ia hampir menyerah dan pasrah. Kalau memang ia harus mati di gurun itu, maka ia ikhlas. Ia sudah tidak punya tenaga untuk menggerakkan kakinya. Kedua tungkainya terasa kaku.

Pada saat itu tiba-tiba wajah mungil anaknya melintas di depan muka. Si kecil Nanang dengan mata sebening danau memanggil namanya..

“Ibu..ibu..ibu…..” Dan ia tertawa terkekeh sangat lucu. Suara tawanya menggema, berputar di bawa angin dan menelusup ke telinga Darsem. Lalu kembali sunyi.

“Nanang ! Nanang anakku ! Nanaaang !” Darsem merangkak cepat, mencari sumber suara. Ia menatap ke langit. Air matanya membuncah tak terkendali. Dadanya seperti ditindih gunung batu. Fatamorgana itu terlalu menyakitkan untuknya. Tangan Darsem menggapai angin. Ia membayangkan wajah anaknya. Ia ingin memeluk Nanang.

“Ibumu di sini, Nang. Ibumu di sini.” Darsem menangis terggugu.

Angin gurun tiba-tiba bertiup kencang. Menerbangkan butiran pasir ke angkasa. Menimbulkan suara gemuruh yang menciutkan hati. Darsem menyeka air mata dengan abaya hitamnya. Suara Nanag kembali terngiang. Seperti ada sebuah kekuatan baru menyusup ke tubuhnya. Maka tak perduli dengan kulit kakinya yang telah kaku dan pecah-pecah. Darsem segera berlari dan berlari. Ia tak ingin mati digurun. Ia masih ingin bertemu dengan si kecil Nanang.

____________________________________________________________________________________

“Gila kamu! Kalau sampai ketahuan polisi ada pembantu kaburan di sini, kita bakal di pancung. Pokoknya malam ini juga kamu mesti keluarin dia dari sini. “Seorang laki-laki tinggi besar, memakai pakaian khas orang Pakistan berteriak-teriak marah kepada temannya.

“Kasihan dia, Israr. Kasihan.”Temannya menjawab dengan gelisah. Agaknya ia memahami benar situasi yang tengah dihadapi. Bisa jadi niat baiknya itu akan berbuah hukuman yang fatal. Tetapi ia juga tidak tega untuk menyuruh pergi pembantu yang di temukan pingsan di depan toko malam tadi.

Israr tercenung di depan pintu. Ia menatap garis jalan raya yang mengecil dan hilang. Ia kalut. Sebenarnya ia merasa kasihan juga. Tetapi menyimpan pembantu kaburan sama saja mencari masalah . Begitu banyak berita tentang boss tukang tampung pembantu yang dipenggal kepalanya. Dan berbagai macam kasus lainnya yang berkaitan dengan pembantu kabur. Masalah itu memang sangat sensitive di negara Saudi. Pasalnya, tidak semua orang selalu punya niat baik, dan tidak semua orang berpikiran positif tentang niat yang baik. Ada yang memang benar-benar ingin menolong, tetapi banyak yang malah ingin memanfaatkan situasi. Tidak peduli mana yang benar. Yang jelas, menyimpan pembantu kaburan itu sangat berbahaya.

Tiba-tiba Israr merogoh kantong celananya.

“Mungkin Atif bay bisa menolong.” Katanya kemudian sambil memencet nomor di handphonenya.

“Di bawa ke Riyadh?” Tanya penjaga toko tadi. Keningnya berkerut tak setuju.

“Memangnya kamu mau nunggu sampai kita ditangkap polisi ?”Tukas Israr.

Penjaga toko itu diam. Tak tahu apa yang mesti ia katakan.Ia tahu, pembantu yang baru saja ditemuinya itu kabur karena pasti ada masalah dengan majikannya. Kalau sampai polisi menemukan dia kembali maka malapetaka yang lebih besar akan menimpa perempuan malang tadi. Ia menghela napas berat. Kasihan, sangat kasihan.

Kurang lebih empat jam kemudian, orang yang di sebut Atif bay benar-benar datang dari Riyadh. Ia membawa mobil Toyoda Cressida tua berwarna putih. Begitu tiba ia langsung melongok ke kamar di mana Darsem rebah tak sadarkan diri. Ia amati wajah dan tubuh Tarsini lama. Dari ujung rambut sampai kaki.

“Belum di apa-apain kan?” Tanyanya serius. Sorot matanya seperti seorang tukang gadai menaksir barang .

Diluar sepi. Angin, pasir, dan pelepah kurma tak pernah mampu mengeja cerita. Seandainya saja alam bisa.

Impressum

Tag der Veröffentlichung: 02.04.2011

Alle Rechte vorbehalten

Nächste Seite
Seite 1 /