Cintaku Singgah di Himalay
a
Nepal, August 2002
Pagi itu, matahari malu-malu menampakkan wajahnya, namun perjalanan kami dari Kathmandu menuju Nagarkot, sebuah desa 36 km ke arah Kathmandu, berjalan dengan pasti menuju arahnya bersembunyi.
Melaju dengan kencang, debu berterbangan semakin menambah sesak pada kendaraan yang kami tumpangi. Bis kecil tanpa pendingin dengan penumpang berkisar 15 orang, yang sarat dengan koper-koper membawa kami melalui jalan-jalan pedesaan.
Suara klakson tiada henti mengusir ayam, sapi dan pejalan kaki. Para pengendara sepeda dan rikshaw menutup hidung, pada sisa deru bis yang melaju zig zag. Tapi sepertinya hidungku juga mencium aroma yang lain, aroma khas ampas kehidupan, sisa kelezatan yang hanya singgah di bibir. Angin membawa masuk wangi kotoran sapi, parfum keluguan alam pedesaan.
Selepas kota Bhaktapur, bis berjalan mulus mencium aspal yang berpasir, naik turun perbukitan, membuat perutku mual. Sesekali kami berpapasan dengan kendaraan yang lebih tak manusiawi, sarat dengan manusia dan kambing hingga ke atapnya. Mengingatkanku pada ribuan mil dari sini, sebuah daerah kelahiranku, yang katanya sekarang sudah menjadi negara sok maju. Dengan mengandalkan hutang-hutangnya. Padahal sudah menjadi hal yang tabu dan memalukan bagi adat ketimuran yang kukenal dulu.
Seperti yang selalu diingatkan ibu pada ayah, memakan uang dari hutang sama dengan menerima kutukan dari setan. Sedikit kolot dan tak logis, tapi hidup kami tak pernah dikejar dengan ketakutan, karena uang takkan pernah habis beredar dan terus dicetak, mengapa harus ketakutan untuk mengantri hidup. Dan ayah mengajarkan untuk tidak serakah pada hidup, bila esok kita harus mati dengan perut berbunyi, hadapi saja.
Lamunanku bersandar di depan Hotel Liberty Mountain Nagarkot, bis berhenti, suaranya mendecit keras. Aku berkemas membawa koper-koperku, dan mendapatkan kamar, di pojok pada lantai dua. Hotel ini tidaklah terlalu besar, tapi cukup bagus dibanding yang lainnya. Dari kaca kamarku, tampak jelas rentangan Langtang Lirung pegunungan Himalaya, menjulang tinggi menembus awan, puncaknya berselimutkan salju abadi seperti kapas yang putih.
Sejauh mata memandang Himalaya menawarkan jutaan misteri, lekuk bumi yang menyimpan wajah dingin dibalik sangarnya terjal menjulang. Sungguh aku binasa dengan segala sudut yang terbentuk dari jutaan tahun bebatuan hitam yang hidup pelan dengan nafas bumi yang masih merayap. Sementara aku masih terus merasa rapuh di usiaku yang cukup berumur, yang terus mencari perhentian, karena mimpiku belum berakhir. Dan aku terjaga di ketegaran prasasti bebatuan itu.
********
Dua hari ku lalui di kota ini, keinginanku cukup besar untuk melihat dari dekat puncak Himalaya. Ini sebuah keharusan, karena aku telah menjejakkan kakiku di sini. Pada berjam-jam perjalananku, pada bermil-mil yang membawaku terbang. Dan untuk mendakinya mungkin aku tak sanggup, karena kakiku telah rapuh dan tulang punggungku sudah tak liat lagi. Namun kenikmatan yang tak terhingga justru menelusuri lekuk-lekuk tebingnya, menantikan misteri di depan mata. Seperti menikmati tubuh wanita dengan pakaian tertutup rapat, ada sejuta misteri yang menanti di ujung bibir yang menjalar. Sungguh eksotisnya yang merambat pelan dari imajinasi yang dibawa melayang, melambung mental.
Di lobby hotel aku memesan minuman, secangkir kopi hitam dan aku memilih untuk bersembunyi di sebuah pojok. Patjar Merahku belum habis kubaca, Matu Mona menarikku akan perjalanan sang revolusioner yang kesepian itu. Lampunya sedikit temaram, dan Tan Malaka membawaku berterang-terang dalam gelap. Tapi Tan, mengapa kau juga bilang bergelap-gelap dalam terang?
Perjalananku terganggu, pada pertemuan Tan Min Kha atau Vichtria atau Tengku Rahiddin dengan kawan lama Soe Beng Kiat, dengan Paul Musotte, Ivan Alminsky, Darsonoff atau Semounoff. Beragam penyamaran. Tapi yang ini bukan lagi samar, nyata asli bentuknya.
Jelas terlihat lekuknya, karena dia bulat sedikit menyembul keluar di sela pakainnya yang memang agak ketat. Dan sepertinya kopiku tak perlu ditumpahi oleh isinya. Aku sedikit malu menyadari pandanganku terlalu memagut miliknya.
“Kamu dari Indonesia?” tanyanya sambil duduk di depanku, sebelum aku mempersilahkannya.
“Benar, kamu kok bisa yakin begitu?” tanyaku, menatap lekat padanya. Seperti mimpi.
“Bukumu, Pacar Merah Indonesia,“ ucapnya, sambil membakar sebatang rokok.
Bibirmu membasahinya, memberi rona merah pada ujungnya. Mengisapnya pelan dan menghembuskan asap putih.
“Sudah lama aku mencari bangsaku di perjalanan,” lanjutnya lagi.
“Apa kabar dengan bangsamu?” Ada sebuah kerinduan, lidahku mulai mengucapkan lafal itu. Bahasa yang sudah lama tersimpan pada rongga-rongga mulutku.
“40 juta menganggur, dan pemimpinnya masih bermimpi dengan mainan demokrasi.”
“Kartu truf kaum kapitalis dengan tameng HAM-nya.”
“Kejahatan makin bertambah, tak ada yang takut dengan hukum lagi. Mungkin sebuah tumbal dari reformasi, seperti saat demokrasi lahir yang menumbalkan kepala di gulletin.”
“Apa kabar dengan mimpi orde barunya?”
“Masih hidup dan mencoba menjadi kupu-kupu, setelah menanggalkan kepompongnya yang menjijikan.”
“Itu juga tumbal dari perebutan yang biadab. Kematiaan jutaan yang menawarkan arwah-arwah dendam. Orde Baru menjadi setan matinya ruh revolusi yang belum selesai bergulir. Dan darah yang mengalir menghapus merah yang mengakar.”
Aku menarik nafas, kenanganku berlari jauh. Pada pertengahan tahun 1965, seorang penyair menyapa Jakarta dengan puisinya:
“Di sebuah perpustakaan
di sebuah penderitaan
seorang-orang tua
resah tersandar ke kaca meja. Ia tak bermahkota
dan aku tak mengenalnya,
tapi ku beri ia tabik
dan kamipun turun ke jalan-jalan raya
……………
Esok hari mungkin salah seorang dari kita berkhianat
dan merancangkan Kiamat lagi. Nanti malam
ia akan merangkak ke jendela, membunuh kita.
Tapi kita masih punya anak-anak, beribu generasi:
hakim-hakim kita yang akan melemparkan kita
dalam peti museum.
Tidak apa.
Karena mereka adalah setia, sedang kita tak lagi setia
Dan tak lagi bisa rindu
…………
Seperti di pagi ini
ketika seseorang membacakan sajak-sajak
bagi anak-anak muda di dunia,
karena mereka adalah setia, wakil sunyi dan lapar
semesta kita
Demikianlah dahulu
ketika aku bertemu
dengan seorang-orang tua
yang resah tersandar ke kaca meja, yang tak bermahkota
tapi kuberi tabik
sebagai seorang sahabat”
(Internasionale, Goenawan Mohammad, 1964)
*************
Malam ini gadis itu hadir di kamarku. Terlalu sunyi di kamar sendiri menurutnya, atau mungkin terlalu mubazir waktu dibuang percuma, menurut benakku. Dengan gaun malamnya yang putih, kami duduk di teras depan kamarku. Setelah dari sini aku menyaksikan warna merah mengantar terbenamnya sang pembakar hari. Dan malam ini haruskah aku menggantinya ‘tuk membakar malam?
“Sampai kapan kisah perjalananmu berujung, adakah kau menjadi pacar merah yang kedua?” tanyanya. Sepertinya dia tak habisnya mengagumi pengembaraanku, pada kisah-kisah hidupku dipertemuan dengannya yang pertama.
“Aku tak mencari ujungnya karena semua tak berawal. Ijinkan semua itu menjadi milikku bukan untuk keraguanmu.” Senyumku menahan keraguannya. Dan aku menikmati rokok yang dibawanya, aroma Indonesia yang lama telah hilang. Aku merasakan tanahnya, keringat sang pemetiknya, mimpi sang peraciknya, senyum pongah sang majikannya.
“Bagaimana dengan keluargamu. Adakah kau tidak merasa rindu?”
“Mereka telah hilang pada keyakinannya. Dan kebenaran milik penguasa, kejujuran milik kami.”
“Tiada kabar tentang mereka?”
“Temanku bilang mereka ditahan, ada yang bilang telah mati, ada yang bilang mereka lari pada mesjid dan gereja.”
“Dan bagaimana dengan gadismu?” senyumnya menyelidik. Dan aku menatap setiap gerak bibirmu.
“Tak beda jauh dengan semua nasib aktifis, seperti sepinya sang Soe Hoek Gie. Orasi tak mampu menghentikan lapar. Dan mimpi masyarakat sosialis religius sama muluknya dengan cinta sang demonstran. Itu kata bapaknya. Kami telah terpisah sebelum waktu memaksanya lebih keras.”
“Apa kau tak mendapatkan kabar tentangnya?”
“Lenyap seperti aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan negerimu. Bahaya di belakangku tak mampu membuatku menoleh ke belakang. Semua menunjuk seakan akulah yang yang paling merah. Justru penjilat-penjilat itu yang membunuh Bung Karno dari belakang. Mereka menuding aku CGMI, padahal aku adalah Marhaenis. Dan pada tembok-tembok mereka menulis “Punya banyak istri cermin tidak becus. Turunkan Sang Bandot”. Itukah mental mahasiswa?” mataku merah meradang.
Sepertinya dia menyadari lukaku, tangannya menarikku ke dalam. Dan memelukku, merasakan degup jantungku yang bergolak, traumatikku. Dia berbisik di telinga, dia menenangkanku. Mengajakku menari, sebuah tarian tango. Dan tangannya menyentuh pundak. Langkahku menirukan langkahnya, panjang dan pendek. Aku tak berani menatapnya, hanya menikmati tarian dari musik yang mengalun dari bawah, dari lobby hotel.
Dan dia berbisik lagi “pasrahkan tubuhmu pada musik, buang pikiranmu, tubuhmu akan mendayu.”
Kami masih menari, sebelum kaki tuaku beranjak letih, keram. Sudah satu jam lebih, dan tubuhnya jatuh pada pelukanku di sofa itu. Dan kami berpelukkan sampai pagi. Tapi hanya itu, tak lebih.
*************
Beruntung pagi ini aku mendapatkan kesempatan untuk melayang di atas puncak Himalaya. Dua tiket dengannya, walau harus ditebus dengan harga lumayan mahal 110 dollar AS atau 1 juta per orang. Dan untungnya tak harus memesan jauh hari, karena ada yang membatalkan perjalanannya.
Dan kami berangkat menuju airpot yang memakan waktu satu setengah jam dari Kathmandu. Dan di Kathmandu aku melihat candi-candi pemujaan bertebar, untuk memasukinya tak boleh mengendarai kendaraan.
Menyusuri Durbar dari jalan Gangga, barang-barang antik dijajakan di atas tikar. Kaum Shadu, lelaki suci pertapa berambut panjang dan gimbal yang terkadang di konde, badannya dilumuri abu atau bedak warna putih dan merokok dengan pipa panjang. Mereka banyak dijumpai di kuil-kuil atau pelataran parkir. Dan disini kami dapat melihat manusia, sapi dan anjing akur menjadi satu.
Kedatangan kami tidak terlambat, pesawat sepertinya masih enggan berangkat. Namun itu tak terlalu lama, mekaniknya dapat menyelesaikannya dalam setengah jam. Semoga selamat dalam penerbangan, batinku.
Dan sebelumnya, bersama dengan delapan penumpang lainnya, kami antri untuk boarding di Tribhuvan Domestic Airpot. Pesawat helikopter besar berbaling-baling di atas, membawa kami terbang ke arah barat kemudian berputar ke arah timur menyusuri pegunungan Himalaya.
Ternyata Himalaya tak hanya memiliki Everest saja, kopilot menerangkan jajarannya, seperti : Lantang Lirung berketinggian 7.246m, Gosainthan 8.013m, Dorje-Lakpa 6.975m, Phurbighyachu 6.660m, Choba-Bhamare 5.970 m dan Gauri-Shankar 7.145m (gunung yang dikeramatkan oleh dewa Shivadan memang sinarnya yang paling berkilau).
Ke arah timur terlihat Mulungtse 7.181m, Chugimago 6.297m yang perawan dari pendakian. Jajaran Pigferago 6.620m, Numbur 6.956m, Karyolung 6.683m, Cho-oyu 8.153, Gyachungkang 7.922m, Pomori 7.145m dan Nuptse 7.906m. Sampai ke puncak Pomori, pesawat akhirnya menyusuri lekuk-lekuk Everest 8.848m yang tertinggi dan yang terindah.
Aku menyaksikan puncaknya, roof of the world. Apakah ini sebuah puncak yang tertinggi? Sebuah keinginan untuk meraih langit, menyentuh surga. Seperti mereka yang mendirikan menara Babel dan Tuhan marah, membuat mereka pecah dalam berbagai bahasa.
Mungkin Tuhan takut manusia akan imigran ke sorga secara bebas. Tapi semua bangsa yang terpencar itu punya akar yang sama, kehausan dekat akan surga, atau keserakahankah?
Tapi ini sebuah keajaiban, gadis itu meneteskan air matanya. Baginya ada keagungan dibalik ciptaanNya, ketegaran dari batu hitam yang dingin, diam namun bergerak naik, membesar di saat gelora semangat masih ada di relung-relung terdalam di perut bumi. Haruskah kita hanya pasrah? katanya. Aku diam, seperti sebuah sindiran bagiku. Dan kami menikmati setiap lekuk-lekuknya dengan sangat jelas dalam jarak lumayan dekat. Beruntung hari belum tinggi.
Di balik Everest, terlihat dataran Tibet yang maha luas. Aku kagum pada kerasnya hidup di Tibet di alam yang eksotik dan jujur. Tak ada polesan, cermin kemandirian dan kemampuan bertahan hidup. Modrenisasi dan kapitalis tidak diperlukan, karena alam dipelihara oleh langit dan dibentengi oleh Himalaya yang agung. Dan musim memberi cintanya pada kehidupan yang ada.
“Dan Tuhan memberi rona merah di pipi wanitanya, memberi otot yang kekar di pundak prianya,” katamu sambil bersandar di pundakku.
Dan pesawat kembali menuju landasan, meninggalkan kekaguman pada penumpangnya. Dan kami mengambil titipan koper di airport dan mencari hotel yang terdekat, lelah harus di lepaskan siang ini.
**************
Aku merasakan sebuah sejarah ada pada lelaki itu. Wajah tuanya telah tampak jelas, dia berumur 21 tahun saat menjadi mahasiswa ketika Bung Karno dijungkilkan. Namun pancaran keras hidupnya, meniupkan sebuah ketegaran yang dirindukan wanita. Sebuah perlindungan dari tipu daya pria.
Dan pesonanya tidak menghanyutkan, tapi merengkuhku ke tepian. Membawaku ke menjauh gelombang yang menjilat kakiku, menghindariku dari kegamangan. Sebab aku hingga detik ini membutuhkan titik sinar, bukan cahaya yang berpendar. Dan sepertinya titik itu aku jumpai jauh di dalam keheningan, di Himalaya. Sebuah cahaya yang terpendam.
Aku merasakan sejarah itu harus tersimpan rapat, ketika sebuah luka tertoreh kembali, dan baunya anyir. Dan lelaki itu menangis malam itu. Malam setelah aku mengejeknya di angkasa dengan pertanyaan “Haruskah kita hanya pasrah?”
Lelaki itu meronta dalam masa lalunya, akan sejarahnya. Tiga puluh tujuh tahun lebih pengembaraan, dia tak berhenti membuat sejarah, parade kesepian. Sesuatu yang tak ku mengerti. Bukankah sebuah episode baru bisa tercipta, ketika yang lalu harus ditamatkan? Tapi sepertinya dia menikmatinya. Dan dia tak punya jawab akan pertanyaanku itu tadi.
Namun aku juga tak punya jawaban ketika dia mengetahui aku masih sendiri di usiaku yang 35 tahun ini. Bukan persoalan putus cinta atau kasih yang tak sampai milik kaum cengeng. Atau karena karir, alasan milik wanita konsumtif yang ditempeli bandrol ribuan label harga barang. Justru alasanku karena sebuah kasih, pada ibuku yang sudah tua. Dan aku mengorbankan diriku demi kasihku yang tak ingin lekang.
Dan kau tercengang demi mendengar itu.
“Begitu tuluskah?” bisikmu.
Aku mengangguk, ada yang mengalir di nadiku ketika bibirmu menyentuh kupingku. Sebuah rasa yang aneh namun menjalar terus, menghangatkan libidoku. Dan aku merapatkan tubuh padamu, merengkuh tak ingin meregangkan.
Tanganku bergayut di leher, ketika bibirku meraih bibirmu, aku melumatnya habis tanpa menunggu niatmu. Kau hanya pasrah, seperti Adam yang pasrah ketika Tuhan meminta tulang rusuknya demi tercipta Hawa.
Dan wangi rokok di bulir keringat mu yang bergulir, membakar birahiku, menegangkan pucuk yang mengembang mekar, wanginya menetes. Dadaku habis kau lumat, aku hanya mampu menahan kepalamu untuk tidak berpaling, biarlah kau meluncur jauh, berbelok di setiap kelokan dan melandai di setiap dataran.
Temukan sebuah persimpangan, jangan kau bingung olehnya. Sebab itu meneduhkan jawaban dari semua gejolakmu. Hanya itu jawabnya, dan kebenaran jawaban itu akan menetes pasti, di setiap celah yang melekat akan terkuak segala kebenaran. Dan pada tingkap-tingkapnya semua bercahaya sama, bergayutan menyambutmu. Carilah kebenaranku lebih dalam.
Dan rasuki aku dengan sejarahmu, buang kelammu di lorong yang menyempit, biarkan mengendap di ujung kesadaran. Dan amarahmu menghangatkan ku, mengisi kekosonganku. Dan kami tergeletak lemas. Hening sesaat.
Engkau masih menyandarkan kepala pada dadaku yang mekar, tanganmu pada pinggulku yang lebar. Dan vaginaku kosong oleh mu, kau sangat terkejut oleh itu, dan aku telah jujur akan ceritaku.
Hentakan roda itu mengagetkanku, pendaratan menendang lamunan. Selepasnya, aku bersiap turun, berbekal sebuah kerinduan walau pertemuan harus berakhir di Kathmandu. Di Tribhuvan International Airpot, kau melepasku pergi, ada linangan ketakutan akankah kita masih bisa berjumpa.
Tapi kau berjanji akan menantiku di situ. Karena kau rasa itulah tempat episode sejarah baru akan kau ukir, yang lama telah kau campakkan di ketinggian 8.848m di atas Everest. Dan aku berjanji akan datang ke sana, membawa ibuku, menjadikan kita bertiga satu tak terpisahkan. Karena aku tak mau oleh perkawinan, ibuku harus disingkirkan di kursi rodanya.
Wanita tua itu melambaikan tangannya, garis keanggunannya masih tampak. Dan kursi rodanya berjalan ke arahku. Bik Ijah dengan setia menuntun arahnya.
“Lama banget cah ayu? Nggak rindu ibu lagi ya?” tangan ibuku mengembang, ingin menjamahku.
“Walah ibu, telat 2 hari dari rencana aja kok. Apa kabar, kangen ya?” tanyaku sambil memeluknya. Aku cium pipinya, keningnya.
“Ada yang menawanmu? Arjuna dari Himalaya?” ibuku tertawa mencandaiku.
“Hehehe…kok tahu? Entar aku perkenalkan dengan ibu. Eh, aku punya fotonya.”
Aku mengikuti ibu, kursinya didorong Bik Ijah. Tanganku mencari foto dari kamera polarid, dan sepertinya sudah tak tahan lagi memberikan kebahagian pada ibu, menjawab segala pertanyaannya akan jodohku.
Ibuku menatap foto itu, dan aku menceritakan di mana kami berpose. Ibu terperangah tak percaya.
“Kenapa bu? Agak tua ya? Tapi dia baik bu. Aku merindukan figur seorang ayah,” kataku malu-malu, sambil menatap ibu.
Bibirnya bergetar, matanya tak mampu menahan bulir yang bergayutan. Menetes membasahi pipinya.
“Akhirnya…..” ucapan ibu tak terselesaikan, isaknya melebur.
“Akhirnya aku punya pendamping juga ya bu. Aku takkan meninggalkan ibu. Seperti ayah yang pergi ketika aku masih merah.”
Aku berjanji pada ibu, tapi tangisku pun tak bisa dibendung.
“Sayang, dia kekasih purbaku. Pergi ketika darah menghapus yang merah.”
Bibirku kelu, otakku menari miring. Lantai seperti tak rata, aku bertopang pada ibu. Dikakinya aku bersimpuh.
“Maafkan aku bu. Kita mencintai orang yang sama.”
Dan saat ini, aku bisa merasakan apa yang dirasakan ibu. Kerinduan yang berabad-abad.
jakarta10agustus2002
Texte: Sumber cover : http://xaxor.com/design/19436-photos-of-himalaya-mountains.html
Tag der Veröffentlichung: 14.04.2011
Alle Rechte vorbehalten
Widmung:
untuk patjar-patjar merah indonesia