Cover

Simpremente Per Kunto…..




kedai bakso mas budhi, menyajikan hidangan bakso yang biasa-biasa saja. sebagaimana bentuk bakso diseluruh nusantara. ada mi putihnya, ada mi kuningnya. bola-bola daging yang dibalut aci tebal. dan yang pasti, penuh MSG.

Tapi entah kenapa, kedai ini selalu ramai. dengan pelanggan setia yang datang tiap siang, saat jam istirahat kerja. diantaranya, Mas Agus si wartawan. lalu ada Mas Sugeng, yang juga wartawan.

Disitu ada juga Fa’i, gitaris yang jam terbangnya tinggi, mendominasi panggung-panggung hiburan. lalu ada juga Wawan, Hartoyo, Toro dan banyak lagi lainnya. gak perlu disebut satu persatu. karena kebanyakan dari mereka adalah tokoh tidak penting. tidak layak muat, minjem istilah Mas Agus.

dari sekian banyak tokoh kita ini, ada satu sosok yang selalu dirindukan oleh semua pelanggan bakso mas budhi. sosok tersebut adalah Jimmy D (bacanya jimi di). Nama aslinya sih Jumadi. polahnya si Fa’i saja nama jumadi yang tradisionil itu bisa jadi Jimmy D. Biar ada taste modernnya, Fa’i beralasan ihwal penggantian nama itu.

Toh nyatanya Jimmy D senang sekali dapat judul bertaste modern itu. kadang-kadang ada yang manggil-manggil dijalan.

“Jimmy D! Jimmy D!!”

Jimmy D yang asli kulon progo itu akan menoleh dengan penuh percaya diri. lalu melambaikan tangan. nyengir lebar, sekalipun giginya kuning-kuning dan banyak yang keropos. Bangga betul dia dengan titel Jimmy D-nya itu.

Jimmy D adalah pengamen jalanan. aktif di pergerakan-pergerakan, dikenal luas dikalangan LSM, Populer di Komunitas-komunitas musik. perlu ditegaskan disini, Jimmy D adalah pengamen yang baik! pengamen yang menguasai tangga nada dengan tepat. tidak fals, tidak cempreng. main gitarnya rapi. senar-senarnya terawat tidak ada yang karatan. mendengarkan Jimmy D mengamen, tidak segan rasanya untuk memberikan honor seribu rupiah keatas. malah, kadang-kadang ada yang memberi lembar biru lima puluh ribuan juga.

jelas si dermawan ini bukan Mas Agus. Mas Agus penganut setia sistem honor tetap. seribu rupiah untuk Jimmy D. itulah rumusnya…..

“simpremente per kunto…..”

suaranya begitu merdu dan bulat. macho!!

itu lirik pertama yang dibawakan Jimmy D di warung mas Budhi sekian tahun lampau. Lirik lagu latin quizas, quizas. lagu yang pernah dipermak oleh ‘Cake’ menjadi ‘perhaps, perhaps’.

kehadirannya begitu menarik perhatian. warung mas budhi mendadak gegap gempita.

“hariba, hariba!!” jerit seorang pengunjung. seolah-olah bisa bahasa spanyol.

Fa’i berdiri diatas kursi. bergaya seperti matador. memakai taplak sebagai ganti kain merah. Mas Sugeng bergaya jadi bantengnya. sruduk sana sruduk sini.
“El Riazor, morientes pas parno esposito espulso raul!!!” Wawan berteriak kencang. lagi-lagi seolah bisa berbahasa spanyol.

yang lain tertawa-tawa. ramai sekali. meriah.
lagu pertama selesai. semua bertepuk tangan.
“lagi!! Lagi!!!” sorak para penonton.

Jimmy D pun menyanyi lagi. kali ini “Che sara”. lagu latin berirama balada yang menghanyutkan. penonton yang sedari tadi penculatan, kini terdiam. larut dalam suasana yang dibawa Jimmy D. Dan berikutnya lagi dan berikutnya lagi. lagu-lagu latin silih berganti dinyanyikan. tidak ada satupun yang paham liriknya. lagu enak begini, lirik tak lagi penting!! seruan-seruan “el riazor, morientes, raul, gozales, esposito” terdengar lagi. lima belas lagu telah dinyanyikan hingga suara Jimmy D serak.

aneh sekali, tidak seperti pengamen pada umumnya, Jimmy D tidak mengulurkan tangan meminta sedekah uang. melainkan dengan santunnya ia minta diri.

nggih sampun. kula pamit rumiyin.

” (ya baiklah. saya pamit dulu)

sontak pengunjung warung menahannya. medang disit pak, minum-minum dulu. es teh? es jeruk? bakso?
Jimmy D menurut. makan bakso, minum es teh. Mas Sugeng yang bayar. dilanjutkan dengan Wawancara mendalam. perkenalan. saat itulah Fa’i membaptis jumadi menjadi Jimmy D. dan ketika Jimmy D minta diri, semua pengunjung warung, tanpa kecuali memberikan sedekah uang baginya.

Wawan yang berkantong cekak dan Mas Agus yang pelit memberi seribu rupiah. Mas Sugeng memberi dua puluh ribu. hartoyo dan toro masing-masing lima ribu. banyak tokoh-tokoh tidak penting memberi sekitar sepuluh hinga lima belas ribu. dan Fa’i? yak, Fa’i memberi lima puluh ribu rupiah saudara-saudara!!! hebat sekali. ketika dintanyakan alasannya kenapa memberi sebanyak itu.

“solidaritas Musisi. uang bisa dicari. cari teman yang bisa nyanyi, apalagi nyanyi lagu latin, itu susah lho!!” begitu jawab Fa’i dengan takzim.
Jimmy D begitu terharu atas kebaikan Fa’i. sudah memberi nama yang keren. memberi honor yang berlebih pula. dalam hati ia mendoakan Fa’i supaya masuk surga. doa yang terbeli dengan sebuah nama keren dan selembar lima puluh ribuan………


“Bagi Rokoknya Dong, Jek!”




Usianya sekitar 30-an kurang. Badannya kurus, rambut awut-awutan, jarang disisir. Kusam, karena jarang keramas. Kaos dan celana yang dipakai berwarna hitam yang mulai pudar, kehujanan kepanasan, baju itu pulalah yang setia menempel ditubuhnya.

“Jek, Bagi Rokoknya Dong, Jek!” itu kata kata favoritnya. Lalu ia akan mengambil sebatang rokok dari bungkus rokok yang tergeletak, sebelum yang punya mengiyakan permintaan itu. Entah siapa nama aslinya. Dia memanggil semua orang dengan nama “Jek”. Dan sebaliknya, semua orang memanggilnya dengan Sebutan “Si Jek”.

Ketika pertama kali datang ke warung mas Budhi, Si Jek berjumpa dengan Mas Agus.

“Jek, Bagi Rokoknya Dong, Jek!” begitu katanya kepada Mas Agus, yang langsung menatap dalam-dalam kepada si jek, pikirnya, ini orang siapa sih, nggak kenal langsung main minta rokok aja. Kontan Mas Agus yang pada dasarnya pelit, menyembur.

“Bebas banget luuuu, kenal juga enggak!!” sembur Mas Agus sambil melotot.

Dibentak seperti itu, Si Jek celilian, salah tingkah, trus duduk di beranda depan warung. Menanti si Jek Si Jek lain yang mungkin bisa dimintai Rokok.

Bila jam makan siang tiba, si jek lapar, dengan polosnya dia akan minta makan ke mas budhi si pemilik warung. Khusus kepada mas Budhi pemilik warung, Si jek memanggilnya dengan sebutan “Bos”..

“Bos, makan dong, laper nih” begitu ujar Si Jek.

“Ada duit nggak?” Tanya mas Budhi. Yang langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh si jek. Gelengan kepala itu akan dibalas lagi dengan acungan kepalan tinju oleh mas Budhi. “Nih aja buat lu!” kata mas Budhi.
Tapi Kadang kadang, Mas Budhi ngasih makan juga ke si Jek. tapi saratnya, Si jek mesti bantuin nyuci piring.

Bila Jimmy D (bacanya: Jimi Di), pengamen favorit kedai mas budhi datang, Si Jek biasanya suka request lagu juga.

“Nirpana dong..Nirpanaa” Begitu si jek teriak teriak, minta lagu dari Nirvana dimainkan. Permintaan yang selalu diabaikan oleh Jimmy D.

Bila Jimmy D mulai menyanyikan lagu lagu latin yang memang telah menjadi ciri khasnya, Si Jek akan tertawa ngakak. Tertawanya sambil nutupin mulut dengan kerah kaosnya, mungkin malu karena gigi seri nya ompong satu. Nggak tau apa yang ada di pikirannya, kenapa menyaksikan Jimmy D nyanyi lagu latin, ia ngakak gitu.

Si Jek, kehadirannya di kedai mas Budhi, walaupun tidak diharapkan, tapi lucu juga.


Bencana Alam Adalah Ngalamat




bahasa jawa punya satu kata keramat yang belum terdefinisi oleh bahasa-bahasa lain. kata keramat itu adalah: “ngalamat“. kalau diterjemahkan ke bahasa indonesia, ngalamat bisa diartikan sebagai ‘tanda-tanda alam‘.

tapi arti kata ngalamat jauh lebih rumit dari sekedar tanda-tanda alam. ngalamat mempunyai hubungan kosmis, hubungan sakral dengan alam semesta.

gempa, tsunami, banjir, gunung meletus, tidak bisa dipandang sebagai gejala metereologis semata. semua yang terjadi di alam ini adalah ngalamat yang dikirim oleh alam.

alam itu apa? alam ya alam. matahari, bulan, bintang, mas agus yang wartawan, mas budhi si tukang bakso, parjo yang jago main gitar,sampai kepada kewan-kewan, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. semuanya bagian dari alam. lalu yang mengirim ngalamat itu siapa?

“ya Gusti Allah.. wong dia yang punya alam!” begitu kata mas budi, tukang bakso yang ngakunya asli malang.
“ngalamat itu dikirim kalo manusia sudah mulai kelewatan dosanya, sudah mulai membuat Gusti Allah marah”

menyoal soal lumpur sidoardjo, letusan gunung merapi, kenapa yang jadi korban malah wong cilik. padahal, wong cilik jelas tidak punya apa-apa untuk berlindung. perlindungannya ya cuma kepada Gusti Allah. kok malah dikirimi ngalamat? mau dihabisi saja, apa gimana?

“wong cilik itu dosanya masih bisa dihitung dengan jari. soalnya hidupnya gak neko-neko. pikirannya habis terkuras untuk mencukupi kebutuhan hari ini. gak ada pikiran lain..” kilah mas Budi membela kaumnya.

“lho, gak dosa kok malah dihabisi?” tanya mas agus mencoba mengerti jalan pikiran mas Budhi.

“lha itu mas agus.. Gusti Allah itu maha adil. maha kasih. yang dosanya sedikit itu dirampungi gak papa. kan masuk sorga…”

“Halah! trus yang wong gede. yang banyak dosanya itu kok gak dihabisi? katanya Gusti maha adil. harusnya kan habisi satu habisi semua…”

“justru itu mas agus. Allah maha kasih, makanya yang dosanya banyak juga dikasih kesempatan buat tobat. biar ikut mencicipi surga..”

Mas Agus terkekeh. kagum akan logika mas Budhi yang njlimet.

“lha trus Gusti Allah mengirim alamat itu buat apa?”

“Untuk ngasih tau semua umat manusia to mas Agus..”

“ngasih tau tentang apa?”

“ya nggak tau saya, mas. itu kan rahasia Ilahi..yang jelas kan tandanya ada”

“yang mana?”

“Lha ya itu tadi. Gunung meletus, Lumpu sidoarjo. kan itu tanda-tanda semuanya. ngalamat to mas?”

mas Agus cuman manggut-manggut sambil menggaruki kepalanya yang sama sekali tidak gatal. kali ini dia benar-benar ga bisa nangkap jalan pikiran mas Budhi.

mas agus, wartawan dari koran nasional terkemuka, lulusan UGM, jelas ga bisa nangkap cara berpikir mas budhi. mas budi ini ahli semiotik alam. buktinya tadi kita dengar sendiri analisisnya tentang gejala alam sebagai tanda-tanda kosmos. yang begini ini kan butuh lawan debat yang setimpal. minimal sekelas ferdinand de saussure, bapak semiotika itu lah!

tapi toh mas agus orang jawa juga. paling tidak seharusnya dia bisa ngerti sedikit soal semiotik alam yang berjudul ngalamat itu. tapi nyatanya, dia agak kesulitan menerima argumen mas budhi. jangan-jangan mas Agus ini jenis manusia yang tercabut dari akarnya? lulusan UGM lho! pernah lama tinggal di jogja, ibu kota kebudayaan jawa lho! masa ga tahu menahu soal ngalamat? ini kan aneh.. apa perlu nanti kita usulkan ada mata kuliah semiotika alam. dan di bab I membahas tentang ngalamat….


Filosofi Kereta Api




Stasiun Purwokerto, jangan dibandingkan dengan stasiun Gambir atau Jatinegara yang padat itu. Jangan pula dibandingkan dengan lempuyangan atau stasiun Tugu di Yogya yang legendaris..

Pada suatu masa, Mas Agus dan Mas Sugeng pernah pula hidup di Purwokerto, kota mendoan di lereng gunung slamet yang menjulang tinggi di jawa tengah. Purwokerto yang sangat populer di seantero barlingmascakeb (banjarnegara, purbalingga,banyumas,cilacap,kebumen), mempunyai sebuah stasiun yang walaupun belum ada apa-apanya dibandingkan kedahsyatan gambir atau stasiun Tugu, tapi toh sangat dicintai warganya.

Jangan Heran Kalau di stasiun Purwokerto, banyak pemuda-pemudi kongkow-kongkow disitu. Di purwokerto, salah satu tempat populer untuk kongkow alias nongkrong adalah Stasiun. Tepatnya di Kafe-kafe yang berjajar disitu. Tidak ada menu spesial, tapi pelanggannya memang gak mencari menu spesial. mereka cuma ingin nongkrong. sambil menyaksikan lalu lalang kereta api.

Pada suatu hari…

“antarkan saya ke stasiun dong!” ujar mas agus kepada mas sugeng.

“wah, mau nongkrong ya? baru juga jam segini mas.. apa gak kepagian?”

“Nongkrong gundulmu. saya mau ke jakarta. naik purwojaya… dan saya belum beli tiket. mangkanya harus berangkat dari sekarang..”

lalu dua tokoh kita ini pun meluncur ke stasiun. mas agus langsung menuju loket. kebetulan yang jaga loket manis sekali. mirip dian sastro yang hebat itu.

“mbak, beli tiket purwojaya. 1 orang.”

“eksekutif atau bisnis pak?”

“yang Bisnis saja”

“ini pak tiketnya. kereta datang jam 8.” ujar si penjaga loket.

setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, mas agus dan mas sugeng duduk-duduk di kafe. menunggu kereta datang. minum kopi. sekarang baru jam setengah delapan. masih ada waktu buat ngopi-ngopi dan ngerokok-ngerokok.

lalu mas agus bercerita ihwal kepergiannya ke jakarta. ternyata mas agus ikut dalam percaturan politik. ikut tergabung dalam tim sukses seorang bakal calon bupati. Di luar skenario, partai yang menjadi kendaraan politik ‘balon’ tersebut ternyata memilih ‘balon’ yang tidak didukung mas agus. padahal sebelumnya dewan partai pusat di jakarta menyatakan dukungan penuh bagi ‘balon’ mas agus.

mas agus merasa dikhianati. mas agus sakit hati. untuk itu dia harus kejakarta. ketemu orang-orang pusat. protes dan meluapkan sakit hatinya. tapi mas sugeng menanggapinya dengan santai.

Menurut mas sugeng, menang kalah dalam politik itu wajar. pengkhianatan, selalu melekat dalam kehidupan berpolitik. apa yang perlu dipermasalahkan? bagi mas sugeng, ini bukan masalah yang gawat sama sekali. lagipula, siapapun Bupatinya, tidak terlalu berpengaruh terhadap keseharian. Life is Goes on….. tidak perlu ada aksi protes dan drama sakit hati segala.

sama seperti kereta mas agus sekarang, yang baru datang jam sembilan padahal jadwalnya jam delapan. mas agus mau marah kaya’ apa, kereta tetap telat datang. mau mutung, ngambek, trus tidak mau naik kereta yang sudah datang sebagai wujud protes, juga percuma. lima belas menit lagi kereta pasti berangkat… yang ngambek sudah pasti ditinggal… rugi sendiri kan? wong sudah bayar tiket………



Gibb Seladipura
Pemalas & Santai
|http://gibic.rawdep.net

Impressum

Texte: http://gibic.rawdep.net
Tag der Veröffentlichung: 15.04.2011

Alle Rechte vorbehalten

Widmung:
Catatan ringan sehari-hari

Nächste Seite
Seite 1 /