Jalan Kebak
Jalan kebak, jalan raya yang tak layak disebut raya, karena tidak seberapa besar. Disitu, orang-orang terpaksa berjalan lambat-lambat, saking terbatasnya ruang gerak. Udara di sekitar situ pengap, aroma tubuh berbalur parfum termahal hingga parfum murahan berbaur jadi satu, berpadu dengan aroma keringat yang alami.
Mono berjalan tertatih di antara lautan manusia di Jalan Kebak. Ia berjalan melawan arus.
Mono mencoba mencari celah, dia bergerak ke kiri, tapi orang-orang di depannya mendorongnya hingga hampir terjengkang. “Nggak punya mata, ya?!” Bentak orang-orang itu. Mono hanya meringis, tak hendak menjawab.
Lalu ia mencoba bergerak ke kanan, mencari celah lain. Tapi kakinya terinjak. Belum sempat ia mengaduh, orang-orang yang berjalan sudah mulai mendorongnya lagi. Jalan kebak memang tidak mengijinkan siapapun orang yang lewat untuk mengeluh.
Mono hampir putus asa, ia bergeming, mematung. Di sekitarnya, orang-orang mulai memaki, mengumpatnya.
“Bodoh! Jangan berdiri saja kau! Ayo jalan!” Seru seseorang.
“Hey! Kau menghalangi jalan!” Teriak orang yang lain.
Tapi Mono mengacuhkan teriakan-teriakan itu. Ia mengatupkan kedua tangan pada telinganya. Tak lama kemudian, ia memejamkan matanya, menghindari tatapan mata beringas orang-orang yang melintas di Jalan kebak. Sekalipun terhuyung-huyung, terdorong-dorong oleh para pengguna jalan tapi Mono bertahan cukup lama dalam posisi itu. Sesekali ia hampir terjatuh, tapi ia menguatkan kuda-kudanya. Kian lama dorongan-dorongan itu kian berkurang. Mono membuka matanya, menurunkan tangannya.
Ia bisa melihat, Jalan kebak mulai lengang. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Ia sapukan tangan ke dahinya, menyeka keringat. Dirasainya pada buku-buku jarinya, kerutan-kerutan di dahinya makin bertambah. Dari dahi, tangan itu bergerak naik ke rambut. Mono mendapati beberapa helai uban yang rontok. Tubuhnya kian renta.
“Aku tak rela kau dengan rakusnya menghisap usiaku” Ucap Mono kepada Jalan Kebak, seolah aspal jalan itu adalah seorang anak kecil yang nakal. Mono bicara sambil merunduk, menggoyang-goyangkan telunjuknya ke aspal jalan kebak.
Mono mengangkat dagunya, memandang ke arah ujung Jalan yang masih jauh. Sekonyong-konyong, di ujung jalan itu, Mono melihat pelangi. Serta merta ia berjalan menuju kesitu, sambil bersiul-siul riang.
Tukang Pel & Akuntan yang Bahagia
Ada banyak hal di dunia yang bisa membuat kita jatuh iba. Begitulah, pada suatu hari, Aku mendadak jatuh iba pada seorang tukang pel. Bukan tukang pel biasa, ia tidak membersihkan lantai, melainkan Jalanan di sebuah kompleks pertokoan. Aku melihatnya dari balik jendela mobil, ketika gerimis mulai turun.
Pikiranku langsung melancarkan sebuah kalimat tanya; Sebenarnya, perlukah jalan dipel? Saat hujan pula!
“Perlu, biar nggak licin” Sahut temanku, tanpa memalingkan mukanya dari layar monitor dihadapannya.
Oke, masuk akal. Tapi tidakkah pihak pengelola gedung menyediakan alat yang lebih canggih untuk melakukan itu. Sebuah mobil mini dengan alat pengepel dibawahnya, misalnya. Atau pengelola gedung bisa juga mengganti material jalan ini dengan bahan yang tidak licin.
“Dia seperti Sisifus” Gumamku..
“Sisifus siapa?”
“Itu.. mitos Yunani, orang yang disuruh menggelindingkan batu dari bawah gunung, menuju puncak, untuk digelindingkan ke bawah lagi, lalu dibawa ke atas lagi.”
“Mirip dimananya kalo gitu?”
“Sama sia-sianya. Dia ngepel jalan, tapi hujan turun, jalanan basah lagi, dipel lagi, trus kapan selesainya”
“Oh..” Temanku menjawab sekenanya. “Yang penting dia punya pekerjaan, dan dia bahagia!!”
“Bahagia gimana, ngepel jalan, hujan-hujan, kamu mau melakukan itu?”
“Ya enggaklah! Aku punya pekerjaan. Dan aku bahagia dengan pekerjaanku” Sahut temanku, ketus.
“Gampang ngomongnya, kau bukan tukang pel jalanan” Aku menggumam pelan. Sedari tadi, tak sedikitpun temanku menoleh kepada tukang pel itu. Dia sibuk dengan grafik dan tabel-tabel. Bahkan hari libur begini, dia masih sibuk dengan pekerjaan! Aku memandangi kawanku ini dengan penuh iba.
Sementara dari balik kaca spion, kusaksikan tukang pel itu masih berkutat dengan pekerjaannya. Hujan masih saja turun. Aku harap kawanku benar. Mungkin dia bahagia..
******
“One must imagine Sisyphus happy as the struggle itself towards the heights is enough to fill a man’s heart.” (Albert Camus)
Figur Ayah dan Lelaki Baik Hati
Dini hampir yakin, ia telah berpapasan dengan ayahnya. Kala itu, ia sedang melintasi sebuah jalan yang padat, sambil mengamati baju-baju yang dikenakan oleh manekin-manekin yang dipajang di setiap etalase toko. Dan lelaki tua itu berjalan berlawanan arah, Dini mengamatinya dari kejauhan.
Lelaki itu biasa saja penampilannya, mengenakan kemeja, celana berbahan drill, dan sepatu pantopel. Dini menatap lurus pada lelaki itu, mengamati detil wajahnya. Perhatiannya tertuju pada rambut lelaki itu yang beruban, pada wajahnya yang penuh kerutan, juga pada kaca mata tebal yang bertengger di hidungnya.
“Ayahmu adalah lelaki paling baik yang pernah aku kenal”, demikian ibunya selalu berkata perihal ayah, beberapa tahun silam.
Laki-laki itu seperti tahu kalau sedang diamati, ia balas menatap lurus pada Dini, membuat Dini tercekat. Dini segera mengalihkan pandangan pada kaleng berkarat ditangannya. Ia terus berjalan, sambil menundukkan kepala. Ketika jarak mereka betul-betul dekat, lelaki itu merogoh sakunya, mengeluarkan segenggam uang, memindahkannya ke kaleng di tangan Dini.
Dini mengangkat wajahnya, hendak mengucapkan terima kasih, tapi suaranya tertahan di kerongkongan. Seandainya benar orang ini ayahnya, Dini senang bukan kepalang, sayangnya ia tidak tahu cara mengungkapkan rasa senang itu, kata-kata apa pula yang akan ia ucapkan pertama kali kepada ayahnya itu. Dini tidak pernah tahu.
Dini menatap wajah lelaki itu tanpa berkedip, Lelaki tua itu tersenyum, kemudian berlalu. Dini terus mengamati laki-laki itu pergi, mengamati punggungnya yang perlahan hilang ditelan punggung-punggung pejalan kaki lain…
Perempuan di Ujung Gang
“Sst, Lihat gayanya sekarang!” ujar teman disebelahku sambil mengerling ke arah ujung gang. Perempuan di ujung gang itu sedang berdiri dengan satu kaki, dua tangannya ditangkupkan keatas kepala. Mirip seseorang yang sedang bersemadi. Pose seperti itu pernah kulihat sebelumnya, tepatnya dalam pembukaan serial TV Ramayana, yang dulu diputar oleh TPI.
“Taruhan, dia bakal bertahan di posisi itu seharian”, lanjut temanku. Kami berdua langsung terkikik geli. Perempuan di ujung gang itu memang selalu berulah yang aneh-aneh.
“Kemarin, kupikir ia sedang pura-pura menjadi kapal selam,” kataku. “Dia menungging, satu tangannya teracung ke depan”
“Wah, belum tentu!” Sanggah temanku, “bisa jadi ia sedang mebayangkan dirinya sedang terbang, macam superman”
“enggak, soalnya satu tangannya lagi, teracung keatas, mirip periskop!” sahutku, kami langsung tertawa-tawa lagi.
Perempuan di ujung gang, entah siapa namanya. Bila ditanya, ia cuma diam, dengan matanya yang menatap kosong. Usianya sudah cukup lanjut, terlihat dari rambutnya yang beruban, dan kulitnya yang keriput. Ia biasa datang pagi-pagi benar, menempati pos nya di ujung gang, lalu mengamalkan satu posisi tubuh, seharian. Ya, satu hari penuh ia akan berada diposisi tubuh yang sama.
Bila hari sudah menjelang malam, ia akan pergi begitu saja. Seolah-olah apa yang baru saja dilakukannya itu hal yang biasa saja. Begitu terus setiap hari, tanpa jeda, tanpa libur tanggal merah.
“Kira-kira apa yang ada di dalam pikirannya?” tanyaku.
“Ia gila. titik. Kalau kau tertarik, kau boleh bergabung disebelahnya, kok!” sahut temanku.
Aku memaki pelan, dan kami tertawa-tawa lagi. Tapi dalam tawaku, aku masih menyimpan segudang tanya perihal apa tujuan perempuan di ujung gang itu rutin melakukan kegiatannya itu, setiap hari, tanpa jeda tanggal merah. Rutinitas yang dipegangnya teguh. Dan ia melakukannya, bukan demi imbalan apapun.
Kupikir, rutinitasku bertolak belakang dengan perempuan di ujung gang. Itu pasti. Rutinitasku adalah untuk mencari nafkah, walaupun, yah, ada juga hal-hal lain diluar mencari nafkah, yang juga rutin kulakukan. Sedangkan dia, perempuan di ujung gang itu, ia melakukan rutinitas anehnya itu entah untuk apa. Bertahan dalam satu posisi selama satu hari, apa pula untungnya?! Tidak heran ia disebut gila oleh orang-orang disekitar sini. Aku pun setuju.
Selagi aku melamunkan pikiran tak penting ini, tiba-tiba saja, ini jarang sekali terjadi, perempuan di ujung gang itu merubah posisi! Ia menunjuk kearahku, tatapan matanya pun demikian. Ia tersenyum. Dengan isyarat tangannya ia memanggil aku. Aku merasa darahku berdesir. Kurasa, ia mengajakku bergabung..
Suatu Pagi di Jakarta yang Diguyur Hujan Badai
Hujan masih mengguyur Jakarta sejak malam kemarin. Pagi hari dingin dan hujan adalah waktu yang tepat untuk melanjutkan tidur barang beberapa menit ke depan. Bau tanah basah, segar melenakan. Tapi Jono beserta puluhan ribu orang lain yang hidup di Jakarta menolak untuk menikmati kenyamanan tidur seperti itu. Terlebih bagi Jono, yang memegang prinsip Karyawan yang baik, tetap datang walau badai datang menerjang.
Badai pula lah yang menerjang Jakarta pagi itu. Hujan datang disertai angin kencang. Atap seng kontrakan Jono berderak-derak, bising, seolah akan terbang ditiup badai pagi itu.
Hujan masih turun deras ketika Jono selesai mandi, siap berangkat ke kantor.
“Jakarta menyenangkan kalau tidak panas.” Jono membatin, mencoba menawar suasana pagi yang kelam itu.
Berbekal payung, juga jaket parasut, Jono melangkah mantab ke Jalan raya. Mencegat Bus kota, yang langsung menuju kantornya.
Badai Jakarta pagi ini ganas. Ia menumbangkan pepohonan peneduh jalan. Bus berjalan tersendat, terhalang oleh kemacetan yang luar biasa panjang. Jono tidak berhenti menatap arloji. Sebentar lagi, ia harus sudah ada di kantor. Ia mulai Gelisah.
Lalu tiba-tiba, semua penumpang Bus terperanjat, dikejutkan oleh suara “Bruk!” keras. Sopir bus refleks menekan klakson beberapa kali. Sebuah pohon besar tumbang, hanya beberapa meter di depan Bus.
“Ah, sial! Makin macet kalau gini caranya!” Pikir Jono. Kemudian ia meloncat turun dari Bus, tanpa tahu jika jalanan di bawahnya sudah digenangi air setinggi lutut. Tapi Jono tidak peduli, ia terus saja melangkah, mengacuhkan celananya yang basah. Ia terus melangkah, melewati mobil-mobil yang terjebak macet. Ia menyaksikan polisi-polisi lalu lintas berdiri pasrah menyaksikan jalanan yang macet parah.
“Aku tahu rasanya, pak. Bagaimana jika kita tidak sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan baik” Ucap Jono pada para polisi itu. Tentu saja hanya dalam hati. Tapi Polisi itu rupanya mendengar bisikan hati Jono. Ia menatap lurus pada Jono, kemudian berteriak dengan lantang.
“Hai kamu! Jangan jalan di situ!”
Jono celingukan, kemudian menunjuk dadanya sendiri. Matanya membulat, menyatakan kalimat tanya seperti, “Bapak manggil saya?”
“Iya kamu! Saudara jangan jalan di situ. Itu jalan buat Mobil. Mau kamu saya tilang?!”
Jono terdiam di tempatnya berdiri, badannya mulai menggigil, bukan karena takut, melainkan karena celananya yang basah sudah mulai membuatnya kedinginan. Alis Jono beradu, dahinya berkerut. Ia bingung, Sejak kapan kaum pejalan kaki bisa kena tilang polisi. Apakah anda aturan baru, dan hari ini adalah hari pertama aturan itu berlaku.
Jono masih saja bergeming. Polisi itu berjalan mendekatinya. Polisi itu sudah berada selangkah didepannya. Jono menatap dalam-dalam wajah Polisi itu. Seketika itu juga, Jono yakin bahwa semua kejadian pagi ini hanya mimpi. Wajah polisi yang ada didepannya itu serupa dengan pak Dorman, atasannya di kantor.
***
Jono mendapati dirinya masih berada di tempat tidur. Hujan masih saja turun. Ia melirik arloji yang tergeletak di meja, sudah pukul sebelas siang. Sudah terlalu siang untuk berangkat kerja. Maka ia meraih ponsel, mengetik sebuah pesan singkat.
“Maaf, saya ijin tidak masuk hari ini. Badan saya meriang. Trims.” Singkat saja, kemudian ia mengirimkan pesan tersebut kepada atasannya. Selepas itu, ia mematikan ponsel, menarik selimut, kemudian melanjutkan tidurnya. Jakarta hujan dan dingin, kali ini ia nikmati saja kenyamanan itu.
Tidak berapa lama, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat pasar terapung dengan banyak sekali perahu-perahu. Di tengah pasar itu, di antara perahu-perahu, Jono melihat pucuk Tugu Monas.
Messi & Materazzi di Sebuah Gang Sempit
Toni sedang membaca selebaran tentang revolusi PSSI ketika sebuah bola melayang deras tepat ke wajahnya hingga ia hampir terjengkang. “Brengsek! kalau main bola, di lapangan dong!” Teriaknya sambil mengusap-usap pipinya. Anak-anak kecil yang bermain bola di sebuah gang sempit itu tertawa-tawa. “Lapangannya nggak ada!” Balas anak-anak itu. Seorang anak mengambil bola itu dari dekat Toni, kemudian melemparkannya kepada temannya yang lain.
Toni tetap berdiri disitu, di sisi gang sempit itu. Ia melihat anak-anak itu begitu senang bermain sepak bola. Mereka bertelanjang kaki, saling berkejaran, berusaha berebut bola.
“Kalau saja aku punya uang, aku akan buatkan lapangan untuk mereka” Pikir Toni.
“Ah, tidak, bukan lapangan saja, juga akan aku buatkan klub sepakbola.” Batin Toni lagi.
Kaki anak-anak itu terlatih dengan baik. Kuat berlari diatas aspal yang berbatu-batu.Toni mengusap pipinya yang tadi terkena bola hasil sepakan anak-anak itu. Itu sebuah tendangan yang sangat keras. Kaki-kaki itu tentu bukan didikan akademi sepakbola. Kaki-kaki itu adalah tempaan aspal yang rompal.
Seorang anak memakai kaos AC Milan bernomor punggung tujuh, berlari meliuk-liuk, mengecoh kawan-kawannya. Bola di kakinya seperti telah direkatkan dengan lem super kuat. Si nomor tujuh begitu asik menggiring bola. Ia tidak menyadari jika ada bek lawan yang telah mengincarnya. Bek itu berlari dari belakang, dengan segenap kekuatan yang ia punya, menyapu kaki si nomor tujuh. Tapi si nomor tujuh itu ternyata sangat berbakat dan lincah. Ia begitu saja melompat, menghindari tackling kasar yang bila saja pertandingan itu adalah pertandingan resmi, wasit tidak akan segan untuk memberi kartu merah.
Alih-alih mengenai kaki lawan, sapuan kasar bek itu mengenai bola. Akibatnya bola itu meluncur dengan deras, melayang tepat ke wajah Toni. Beruntung, Toni sigap, Ia membungkukkan badannya. Bola menghantam dinding di belakangnya, memantul kembali ke lapangan.
Toni menghela nafas lega.
“Si nomor tujuh itu akan menjadi seperti Messi, dan bek yang kasar itu Materazzi” Lagi-lagi Toni membatin.
Toni melamun, di matanya, anak-anak itu tampak sedang mengenakan kostum tim nasional. Mereka berlaga, dan memenangkan pertandingan demi pertandingan. Toni melihat anak-anak itu mengangkat Piala, mereka membawa Indonesia ke jalan yang benar, yaitu menjadi Juara di ASEAN. Mata Toni berkaca-kaca menyaksikan itu semua. Toni terus saja melamun. Ia tidak sadar ketika si bek kasar kembali menyapu bola dengan brutal. Bola itu melayang ke wajahnya. Kali ini ia tidak sempat menghindar. Toni terhuyung sebentar, lamunannya buyar. Anak-anak itu tertawa melihatnya.
“Bubar!” teriaknya kepada anak-anak itu. “Game Over!” lanjutnya. Kemudian Toni mengambil Bola itu, sambil mengusap-usap pipinya yang terasa panas. Diiringi oleh tawa anak-anak kecil yang riang, Toni membuang bola itu ke selokan.
Senja di Taman
Hujan baru saja berhenti. Sinar matahari tidak terlalu menyengat. Demi menikmati suasana sore yang menyenangkan itu, Jim memutuskan untuk turun dari bus kota, tepat ketika Bus itu melintas di depan sebuah taman.
“Segar sekali udaranya”. Pikir Jim seraya berjalan pelan menyusuri troroar di pinggiran taman. Jim berhenti sebentar menyaksikan sekelompok anak muda bermain bola di taman itu. Usia anak-anak itu sepantaran dengannya. Jim ingin ikut bermain bersama mereka, tapi ia melihat sepatunya. “Ah, sepatu ini sayang kalau dipakai bermain bola” Jim membatin, menatap ke sepatu keds kebanggaannya.
Jim teringat, dulu ia sempat meminta kepada ayahnya agar dibelikan sepatu itu. Tapi ayahnya tidak mengabulkan. Harganya hampir mencapai satu juta rupiah. Terlalu mahal bagi sebuah sepatu. Akhirnya Jim hanya bisa memendam hasratnya. Sampai suatu ketika ia mulai bekerja sambilan menjadi seorang desainer majalah. Begitu gaji pertama ia terima, serta merta ia membeli sepatu itu.
“Sepatu lo bagus nih!” Ujar seseorang di sebelahnya, menyadarkan Jim dari lamunannya. Jim menatap orang itu, kurus, kumal, acak-acakan. Orang itu mengenakan kaos tipis, dan jeans sobek-sobek. Mereka yang sering pergi ke taman itu tahu, orang itu bernama Joni.
“ikhlas kan kalo gw minta sepatu lo? Sandal swallow gue udah buluk nih” Kata Joni lagi, alis matanya bergerak-gerak, bibirnya tersenyum lebar, wajahnya terlihat sangat licik. Jantung Jim berdebar-debar. Si brengsek ini mengincar sepatu hasil jerih payahnya. Jim menelan ludah beberapa kali, kemudian memberanikan diri menjawab, “wah, jangan sepatu gue bos. Masih baru banget nih, belum lama gue makenya”
Joni merangkulkan tangannya ke pundak Jim, sambil tertawa-tawa. Jim cuma menunduk, sekilas dilihatnya tattoo ditangan Joni, bergambar sandal jepit. Jim sebenarnya ingin tertawa melihat itu. Dicobanya tertawa, tapi bibirnya cuma mampu menyungging sebuah senyum kecut. Jantungnya berdetak makin lama makin kencang. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan punggungnya. Joni merasakan aura ketakutan Jim itu, lalu ia mulai melancarkan gertakannya lagi.
“Jadi lo gak rela nih?” Tanya Joni, suaranya dibuat seramah mungkin. Lalu dengan sebat, ia mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Joni menimang-nimang pisau itu, seolah-olah pisau itu adalah mainan yang tidak berbahaya. Jim bergidik melihat pisau milik Joni. Ketakutannya memuncak. Saking takutnya, Jim sudah tidak bisa berpikir jernih.
Dengan segala kekuatan yang ia punya, Jim mendorong tubuh Joni hingga terpental beberapa langkah. Joni berang, lalu menghambur ke arah Jim, sambil mengayun-ayunkan pisaunya. Jim yang tidak punya jam terbang tinggi dalam soal bekelahi tahu bahwa saat itu, ia cuma punya satu peluang, yaitu lari sekencang-kencangnya. Maka larilah ia sekencang yang ia bisa.
Joni sempat mengejar beberapa langkah, tapi ia menghentikan larinya. Matanya berbinar-binar menyaksikan Jim lari tunggang langgang. Joni tertawa-tawa puas, Ia merasa sangat jumawa. Sambil terus menyaksikan Jim yang terus berlari menjauh, Ia mengantungi pisaunya kembali.
Sementara hari sudah semakin gelap. Pertandingan bola di taman belum juga usai. Joni beranjak mendekati seorang pemain yang tengah duduk kelelahan.
“sepatu lo bagus nih!” ujar Joni kepada pemain yang kelelahan itu. Orang itu menoleh kepada Joni, mengacungkan jari tengah sebagai jawaban. Joni tertawa pendek, kemudian pergi meninggalkan orang itu. Ia berjalan gontai, sesekali memegangi perutnya yang belum terisi sejak pagi.
Texte: sxc.hu
Tag der Veröffentlichung: 13.04.2011
Alle Rechte vorbehalten